Operasi Badai Al Aqsha Jadi Titik Awal Kegagalan Kolonialisme Penjajah Israel

Operasi Badai Al Aqsha Jadi Titik Awal Kegagalan Kolonialisme Penjajah Israel
Tentara penjajah Israel berdiri di samping mayat warga Israel di kibbutz Kfar Aza. / Faiz Abu Rmeleh (Al Jazeera)

Pengamat memperkirakan, Hizbullah di Lebanon Selatan tidak akan terlalu jauh melibatkan diri dengan cara menyerang masuk ke wilayah pendudukan Israel. Risikonya berat: dianggap aneksasi. Jadi, serangannya cendrung hanya berupa tembakan rudal ke situs-situs militer dan pemukiman. Dampaknya tetap signifikan jika dikaitkan dengan pemukiman. Sebab, sejumlah 70.000 pemukim mengosongkan wilayah utara pendudukan Israel.

The Washington Post membahas krisis yang dihadapi oleh pemukim penjajah Israel di tengah eskalasi militer di front utara dengan Hizbullah selama sekitar tiga bulan. Daerah ini berubah menjadi zona militer tidak resmi, karena setiap hari terdengar ledakan artileri dan rudal. Sehingga, pemukim Yahudi merasakan suasananya seperti di Gaza.

Pemukim Yahudi pun mengungkapkan kekhawatiran pasca infiltrasi Hamas. “Sampai 6 Oktober, kami dipandang sebagai polisi di Timur Tengah. Setelah 7 Oktober, kami dipandang kehilangan kemampuan untuk melakukan pencegahan,” kata Ketua Dewan Israel di wilayah utara Israel, Moshe Davidovich.

Pasca 7 Oktober 2023, konsep wilayah penyangga keamanan pun berubah. Sebelumnya 4 kilometer ke dalam daerah Lebanon. Sekarang justru beberapa kilometer ke dalam wilayah pendudukan Israel. Ini berarti kemunduran signifikan, karena akan banyak wilayah tak berpenghuni di sepanjang perbatasan dengan Lebanon. Jadi, mengurangi kapasitas pemukim Yahudi yang bisa ditampung. Bukankah berdirinya penjajah Israel di tanah Palestina untuk menampung Yahudi dari seluruh dunia, seperti semangat pendirinya, Theodor Herzl?

Ketakutan luar biasa akan tidak tercapai target militer di Gaza, diungkapkan pula oleh mantan kepala badan intelijen Israel (Mossad), Yossi Cohen, dalam sebuah artikel yang diterbitkan Haaretz. Yaitu, mengancam keberadaan Israel. Kegagalan dan salah langkah pemerintah Israel membuat warga Israel berisiko kembali ke Rusia, Polandia, Inggris, dan negara lain, jika negara-negara tersebut bersedia menerimanya.

Efeknya sudah sangat jelas. Banyak tentara penjajah Israel yang mengalami cacat dan trauma. Rasa ketakutan pemukim Yahudi melonjak tinggi. Setengah juta pemukim eksodus ke luar. Yang berpergian ke luar negeri tidak kembali. Migrasi Yahudi ke Tanah Palestina menurun signifikan. Banyak pemukim Yahudi yang membeli properti di Siprus Yunani.

Baca juga: Menteri Pertahanan Zionis Israel Ungkap Fase Baru Perang Gaza

Agar pemukim Yahudi tetap merasa  “nyaman” di Tanah Palestina, penguasa penjajah Israel memberikan ragam insentif berupa pemberian kompensasi terhadap perusahaan, mengganti kerugian kerusakan properti, serta menampung dan membiayai kehidupan pemukim yang terdampak perang. Namun, sanggupkah mereka mempertahankan kenyamanan itu jika pertempuran berlangsung lama? Ketika Tepi Barat mulai bergolak keras dan keuangan negaranya semakin berat?

Mengapa kaburnya pemukim Yahudi itu mengancam keberadaan penjajah Israel? Sebab, pembukaan pemukiman merupakan strategi kolonialismenya. Hal ini terungkap dalam Diskusi “Berbincang dan Berpikir tentang HI” pada 24 Agustus 2021, dimana Institute of International Studies (IIS) HI UGM membedah konsep Settler Colonialism dari kasus Israel-Palestina dengan tajuk “Memahami Konsep Settler Colonialism: Studi Kasus Israel-Palestina”.

Perbedaan antara kolonialisme klasik dengan kolonialisme pemukim yang dilihat dari tiga aspek, yaitu otonomi koloni, prioritas, dan sikap terhadap masyarakat asli. Kolonialisme pemukim bertujuan untuk menjadikan tanah masyarakat asli sebagai rumah baru bagi pemukim dengan cara mengambil alih wilayah. Oleh sebab itu, dalam struktur masyarakat pemukim, masyarakat asli pun dilihat sebagai halangan, dalam kata lain menjadi musuh yang tidak diinginkan.

Kolonialisme pemukim didasari oleh dua logika, yaitu logika pemusnahan (logics of elimination) dan logika dehumanisasi (logics of dehumanisation). Dengan dua logika ini, pemukim Israel memandang penduduk asli Palestina sebagai kelompok yang terbelakang dan pantas digantikan oleh pemukim yang lebih beradab.

Pembangunan pemukiman Yahudi di Tanah Palestina merupakan gerakan kolonialismenya. Oleh karena itu, dua menteri penjajah Israel memerintahkan agar pemukim Yahudi memasuki Gaza. Rakyat Palestina diperintahkan untuk bermigrasi ke negara-negara Timur Tengah dan mereka telah pula menyiapkan tanah di Kongo. Apakah itu akan tercapai? Keteguhan rakyat Palestina di Tanah Palestina menjadi penghancur kolonialismenya. Gerakan Perlawanan pada Badai Al-Aqsha merupakan sarana peneguhannya. Eksodus para pemukim penjajah Israel merupakan tanda kehancurannya. Seperti yang terjadi di Madinah pada era Rasulullah saw, ketika Yahudi keluar dari Madinah dan Khaibar.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.