Pilkada serentak sudah memasuki babak akhir. Tanggal 27 Agustus 2024 pendaftaran Paslon yang akan bertarung di 508 kota/kabupaten dan 37 Provinsi segera dimulai di KPUD masing-masing. Sepanjang sisa waktu yang ada, berbagai dinamika dan kejutan tak mustahil terjadi. Yang paling menyedot perhatian adalah Pilkada Jabar, Jakarta, Jateng dan Sumut.
Yang disebut pertama karena alotnya tarik menarik Gerindra dengan Golkar ihwal jagoan yang akan diusung. Gerindra menjagokan sang Ketua, Dedy Mulyadi (DM), sedangkan Golkar keukeuh mengusung mantan Gubernur Ridwan Kamil (RK). Namun, tarik-menarik berbulan itu usai sudah setelah Ketua Umum Golkar, Airlangga Hartarto, Senin (5/8/2024) kemarin, menegaskan, Golkar sepakat mengajukan Dedy Mulyadi (DM), menjadi Cagub Jabar. DM sendiri sebelumnya lama jadi dedengkot Golkar di tatar Sunda sebelum lompat ke Gerindra. Kepastian itu membuat RK hampir pasti OTW ke Jakarta.
Pilkada Jakarta, juga Jateng dan Sumut, menyedot perhatian publik lantaran kentalnya warna kroni Jokowi. Di Jakarta, meluncurnya RK sebagai jagoan Koalisi Indonesia Maju (KIM) tak bisa dilepaskan dari dinamika politik yang terjadi. Perubahan sikap Golkar di pilkada Jabar dan Jakarta menarik dicermati mengingat pada waktu yang hampir bersamaan terjadi pertemuan antara Waketum DPP Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad dan Habiburrahman, dengan HRS dan pentolan DPP FPI di kediaman HRS. Meski Habiburrahman maupun Sekjen Gerindra, Ahmad Muzani, menyebut pertemuan tersebut sekadar silaturrahmi belaka, aroma politik tak dapat dihindari.
Semakin menarik saat Sufmi Dasco menyebut pencalonan RK di Jakarta bakal diusung oleh KIM plus. Siapakah partai plus itu? Masih jadi tanda tanya. Yang pasti bukan PDIP.
Bagaimana dengan tiga partai lain non KIM, yakni PKS, PKB, dan Nasdem? Ketiganya memang menyebut Anies sebagai jagoannya. Bahkan PKS langsung mendelarasikan dukungannya dengan memunculkan pasangan AMAN (Anies-Sohibul Iman). Deklarasi itu didasarkan pada sikap PKS sebagai pemenang pileg di Jakarta, bahwa kader PKS harus menjadi Cagub atau Cawagub. Sementara dukungan PKB dan Nasdem kepada Anies baru sebatas kata-kata, belum ada surat resmi tertulis.
Ketidakjelasan ini tentu saja membuat PKS galau. Sebab, meski memenangi Pileg di Jakarta dengan mendekap 18 kursi di DPRD Jakarta, PKS tak bisa sendirian. Dibutuhkan setidaknya 4 kursi lagi untuk bisa berlayar. Jika Nasdem dan PKB atau salah satunya mendukung AMAN, masalah pencalonan selesai. Nasdem dan PKB masing-masing menggenggam 11 dan 10 kursi di DPRD Jakarta. Anehnya, keduanya nampak enggan mendukung AMAN. Pada saat yang sama, Anies yang didaulat PKS sejak 25 Juni lalu dan diberi waktu 40 hari untuk mendapatkan mitra koalisi tak juga berhasil mewujudkan mitra itu.
Keengganan PKB dan Nasdem mendukung AMAN sejatinya menegaskan posisi PKS di mata parpol lain. Betapa pun besarnya dukungan publik, PKS di mata para elite dianggap sebagai common enemy yang tidak boleh berkuasa. Apalagi di Jakarta yang merupakan etalase nasional. Ia hanya boleh hadir sekadar sebagai pelengkap penderita yang akan dilirik dan ditarik-tarik jika diperlukan.
Pilpres lalu adalah contoh telanjang betapa PKS di-fait accompli untuk mendukung AMIN. Secara sepihak, Surya Paloh dan Muhaimin Iskandar menetapkan AMIN tanpa mengajak diskusi PKS – juga Demokrat – sebagai anggota koalisi perubahan. Contoh lain terjadi saat jabatan Wagub DKI Jakarta kosong usai Sandi (Uno) mundur lantaran maju sebagai Cawapres Prabowo pada Pilpres 2019. Kursi Wagub DKI Jakarta yang semestinya jatah PKS dibiarkan kosong lebih dari setahun. Kekosongan itu disengaja, lantaran partai lain enggan mendukung kandidat Wagub yang diusung PKS. Mereka mau mendukung Wagub dari PKS asalkan nama yang diajukan berasal dari internal DPRD DKI yang dinilai bisa"kompakan". Akhirnya kursi Wagub diraih A.Riza Patria dari Gerindra.
Contoh lain yang lebih telak adalah saat pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2007. PKS yang pada pemilu 1999 hanya meraih 4 kursi DPRD DKI Jakarta sukses memenangi pileg 2004 dengan meraih 22 kursi. Jelang Pilgub 2007, PKS dengan gagah mencalonkan Wagub Fauzi Bowo (Foke) sebagai jagoannya yang akan disandingkan dengan sang Ketua DPW, Ahmad Heryawan (Aher) yang ketika itu menjabat Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta. Foke yang mewakili kaum Betawi dan puluhan tahun berkarir di Pemprov DKI sebelum menjadi Sekda dan Wagub, tentu punya modal politik yang sangat besar. Sementara Aher selain mendapat dukungan penuh dari pemilih PKS juga akan mendapat dukungan etnis Sunda yang lumayan banyak di Jakarta. Jika skenario itu berjalan, dapat diduga pasangan Foke-Aher akan mudah memenangkan kontestasi.
Namun apa lacur, skenario itu gagal total. Semua partai di DPRD memblok rencana itu. Mereka kompak mengusung Foke yang juga Ketua PWNU DKI Jakarta dengan catatan Foke menolak pencalonan dari PKS. Foke kemudian berpasangan dengan Mayjen Prijanto. Sementara PKS akhirnya mengusung mantan Wakapolri, Adang Daradjatun, berpasangan dengan Dani Anwar. Mengapa Dani Anwar dan bukan Aher? Karena Adang dan Aher sama-sama orang Sunda. Tak elok rasanya di mata publik. Ada pun Dani Anwar adalah anak Betawi asli yang lahir dan besar di Tanah Abang.
Dari gambaran di atas, amat musykil rasanya pasangan AMAN akan berlayar. Tenggat waktu 40 hari yang diberikan PKS kepada Anies untuk melengkapi koalisi sejak deklarasi tanggal 25 Juni lewat tanpa hasil. Dari situasi di atas, ada beberapa kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, Anies tetap berlayar bersama PKS, Nasdem, dan PKB, asal Cawagubnya bukan dari PKS. Kemungkinan ini sulit, karena PKS sudah menetapkan harga mati bahwa kadernya jadi Cagub/Cawagub. Kedua, Anies tetap berlayar berpasangan dengan Ahok atau nama lain melalui koalisi PKB-PDIP (25 kursi). Kemungkinan ini terbuka mengingat kedua partai kemungkinan juga berkoalisi di Pilkada Jatim, Jateng, dan Sumut. Ketiga, Anies berlayar didukung PKB, Nasdem, dan PPP (22 kursi) dengan pasangan yang disepakati ketiga partai. Keempat, Anies tak jadi berlayar karena tak mencukupi syarat.
Jika situasi di atas terjadi, di mana posisi PKS? Boleh jadi yang dimaksud Sufmi Dasco sebagai partai plus adalah PKS. Apalagi marak beredar tawaran KIM kepada Presiden PKS, Ahmad Syaikhu, untuk mendampingi RK. Sekadar catatan, Syaikhu pernah diusung Fraksi PKS untuk menggantikan Sandi, namun ditolak yang lain. Menarik PKS ke gerbongnya dan “silaturrahmi” dengan HRS/FPI merupakan langkah jitu KIM meraih kemenangan, sekaligus menggembosi suara Anies, seandainya jadi berlayar dengan perahu mana pun.
Mereka paham benar basis suara Anies adalah pendukung fanatik PKS dan kalangan muslim pecinta HRS. Dengan memisahkan keduanya dari gerbong Anies, mantan Gubernur DKI Jakarta itu akan sulit meraih kemenangan. Pada gilirannya, mantan Rektor Universitas Paramadina itu tak punya modal untuk bersaing di pilpres 2029 mendatang. Ibarat pepatah, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui oleh KIM. Anies terisolasi dari basis sosialnya, gagal jadi Gubernur Jakarta, dan kehilangan pamor kepemimpinan.
Dari gambaran tersebut, Anies harus berusaha sekeras mungkin untuk berlayar bersama PKS. Karenanya, ia harus bisa meyakinkan PKB, Nasdem, dan mungkin juga partai lain, untuk mendukung AMAN. Jika tidak, ia akan kehilangan dukungan simpatisan PKS dan juga kalangan muslim yang terafiliasi dengan HRS. Banyak orang heran mengapa suara AMIN di Jakarta saat Pilpres kemarin hanya 41,07 %, kalah tipis dengan Prabowo-Gibran yang meraih 41,67 %. Padahal, semula AMIN di Jakarta diprediksi akan jadi pemenang dengan perolehan suara jauh lebih tinggi.
Salah satu penyebabnya boleh jadi adalah tragedi di JIS. Saat kampanye terakhir AMIN itu, di panggung utama muncul Victor Laiskodat, pentolan Nasdem yang menjabat Gubernur NTT. Padahal, Victor adalah salah seorang yang paling dibenci dan dicari aktifis FPI. Menurut sejumlah aktivis FPI dan PA 212, menempatkan Victor di panggung utama dengan membelakangi sejumlah ulama dan habaib merupakan pelecehan terhadap mereka. Buntutnya, mereka enggan memilih AMIN. Benarkah? Wallahu a'lam bishawab.
Sementara di Jateng, nama Komjen Ahmad Lutfhi santer berkibar. Mantan Kapolda Jateng itu dinilai sebagai kroni Jokowi yang berjasa besar di balik kemenangan pasangan Prabowo-Gibran di sana. Di dalam sejumlah survey, namanya selalu berada di urutan teratas. Kuat dugaan, ia akan dipasangkan dengan anak bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, yang juga Ketua Umum PSI. Hal ini wajar, mengingat Jateng dikenal sebagai Kandang Banteng, yang saat ini berhadap-hadapan dengan Jokowi.
Di Sumut, Bobby – menantu Jokowi – sudah mengantongi dukungan jumbo dari nyaris seluruh parpol parlemen. Teranyar, dukungan didapat dari PKS yang semula diyakini bakal mengusung Edy Rahmayadi. Menurut Jubir PKS, Ahmad Mabruri, ketidakmampuan Edy meraup dukungan dari partai lain, sementara PKS tak dapat mencalonkan sendirian, menjadi alasan beralihnya dukungan. Di sisi lain, jika pun Edi di-endorse oleh PDIP, dengan 21 kursi yang dimilikinya, PDIP bisa berlayar sendirian. Apalagi jejak historis dan ideologis PDIP dan PKS sulit menemukan titik temu.
Situasi berbeda terjadi di tingkat dua. Di Pilwalkot Medan, PDIP secara mengejutkan memajukan Prof. Dr. Ridha Darmajaya sebagai Cawalkot. Padahal, Ridha dikenal sebagai aktivis muslim, dedengkot paguyuban DKM di Medan, dan berlatar belakang HMI. Entah apa alasan partai moncong putih itu mengusung dia. Apakah karena ingin merebut hati umat Islam di Medan? Atau mungkin juga karena elektabilitasnya yang menjanjikan? Yang jelas, setiap partai yang berlaga di Pilkada tentu berharap meraih kemenangan.
Bermodal 9 kursi DPRD Medan, tentu saja PDIP harus mencari mitra koalisi. Yang santer terdengar adalah PKB yang punya 2 kursi. Dengan modal 11 kursi (dari total 50 kursi DPRD Kota Medan), koalisi PDIP dan PKB sudah bisa melaju, karena sudah melampaui persyaratan 20%. Namun, diprediksi akan sulit meraih kemenangan. Karena itu, diperlukan mitra lain yang punya dukungan suara lumayan kuat di Medan. Salah satunya adalah PKS.
Berbekal 8 kursi DPRD, jika PKS bergabung maka koalisi unik ini mencapai hampir 40%. Secara teoritis, dukungan itu cukup potensial mendulang suara dari basis massa yang berbeda. Akankah gabungan kekuatan politik yang secara ideologis dan historis kerap berhadap-hadapan itu terwujud, solid, dan memenangkan pilkada? Menarik untuk kita tunggu.
Menurut seorang tokoh di Medan, jika Ridha tidak bersama PKS, akan sulit meraih kemenangan, seperti juga hal yang sama akan terjadi jika PKS meninggalkan Ridha. Pendeknya, keduanya sama-sama rugi. Benarkah begitu? Kita tunggu saja tanggal mainnya.
Satu hal yang jelas, berbagai Pilkada yang akan digelar belum menempatkan partai Islam pada posisi suprematif dan signifikan. Mereka masih harus lirik ke kanan dan kiri untuk berlaga, karena tak punya cukup kekuatan untuk bertarung secara mandiri atau membangun faksi Islam. Kekuatan politik masih didominasi partai sekuler, yaitu PDIP, Golkar, dan Gerindra. PKB sebagai peraih suara terbesar keempat dalam pileg 2024 hanya kuat di Jatim dan Jateng. Itu pun berbagi dengan tiga partai sekuler di atas. Bahkan saat suara nasional dikonversi menjadi kursi DPR, ia kalah dibandingkan dengan Nasdem. Ada pun PKS hanya menang tipis di Jakarta, dan lumayan kokoh di Sumbar dan Jabar. Namun, dalam lima kali pemilu prosentase perolahan suaranya antara tujuh koma dan delapan koma alias partai medioker.
Harus ada visi kuat agar ke depan, partai Islam menjadi the ruling party. Setidaknya runner up. Di dalam sistem multi partai saat ini, jika ada partai Islam – misalnya PKS dan PKB – bisa menggapai sekitar 20% suara pemilih, mereka berpeluang menjadi pemenang atau runner up. Hal itu akan menjadi magnet yang menarik partai lain untuk membentuk koalisi atau Fraksi Islam. Lalu pada gilirannya, bisa bebas dan leluasa dalam mengajukan calon pemimpin.
Peluang ke arah itu terbentang luas setidaknya dengan dua pendekatan. Pertama, mampu mengonsolidasi dan mengkapitalisasi sekitar 40 juta suara pendukung AMIN dalam pilpres lalu. Ambil contoh PKS. Berhasil meraih 12,7 juta suara pileg, berarti ada sekitar 27 juta pemilih AMIN non PKS. Jika separuhnya bisa dikonsolidasi, maka 5 tahun mendatang PKS bisa meraup sekitar 25 juta suara. Begitu pula halnya dengan PKB atau partai Islam lainnya. Jika itu bisa dilakukan, maka partai Islam bisa menjadi the ruling party atau runner up.
Kedua, pendekatan dan kerja sama dengan tokoh-tokoh umat diintensifkan. Sudah saatnya, partai Islam membuka diri kepada seluruh lapisan umat dengan prinsip “Wata'awanuu 'alal birri Wattaqwa Walaa ta'awanuu 'alal itsmi wal 'udwaan”. Wallahu a'lam bishawab.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!