Biru ingin cepat-cepat jadi orang dewasa. Agya benci sekali dengan orang dewasa. Lalu, tanpa aba-aba, keduanya jatuh cinta pada saat yang sama. Dengan perasaan yang baru mereka rasakan pertama kali ini, keduanya mencicipi pahit-manis kehidupan orang dewasa, yang tak selalu sederhana.
Cinta dan luka seringnya datang bersamaan. Meski tak mudah, perasaan yang sedemikian rapat ditutupi akhirnya terungkap jua. Lalu, berbagai macam emosi baru akan dirasa, saat kita jatuh cinta.
Profil Penulis
Novel “Saat Kita Jatuh Cinta” adalah karya Aiu Ahra. Aiu Ahra merupakan seorang penulis yang lahir pada 3 Januari 1992 di Pakkat – Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Aiu Ahra menyukai langit dan bintang. Bahkan ia cenderung menyukai hal-hal random yang biasanya dapat memunculkan ide-ide baru. Bagi dia, ide merupakan suatu kejutan yang diberikan oleh Allah Swt untuk ia eksplorasi dalam imajinasinya, serta kesempatan untuk memelajari hal-hal baru.
Buku-buku yang sudah Aiu Ahra terbitkan ada beberapa macam. Antara lain Autumn Sky (2012), Tokyo in Love (2013), Song of The Wind (2013), Move on (2013), #CrazyLove: Mantan (2014), Bouteille (2015) dan Married in Trouble (2016). Ia juga berniat untuk terus menulis, karena telah berkomitmen bahwa menulis merupakan bagian dari dirinya yang sulit dipisahkan.
Sekilas Isi Buku dan Hal Menarik dari Buku Ini
Banyak sekali hal yang menarik dari novel ini. Ceritanya ringan, tetapi mengandung banyak ibrah dan pelajaran yang bisa diambil. Sekilas mungkin terlihat seperti novel percintaan ala remaja biasa, yang jalan ceritanya sudah sangat klise. Ya, memang ada juga drama suka-sukaan khas remaja dalam novel ini. Tetapi, Aiu Ahra berhasil mengemasnya dengan sangat manis, berkesan, dan elegan.
Novel ini memakai sudut pandang kedua tokoh utama secara bergantian, yaitu Biru dan Agya (Yaya). Biru dan Agya merupakan siswa SMA berumur 16 tahun, masing-masing memiliki konflik dan kronik yang cukup pelik di kehidupan mereka. Sama-sama dibesarkan dalam keluarga yang bermasalah (broken home), membuat mereka memiliki karakter yang berbeda dengan remaja seusianya. Di mana kebanyakan anak-anak SMA biasanya selalu ceria dan penuh canda tawa. Biru adalah tipe cowok polos, lugu, dan cuek, tetapi baik hati dan cute. Sedangkan Agya cenderung pendiam, tertutup, dan sering terlarut dalam dunianya sendiri.
Berbagai kekecewaan dan rasa sakit yang mereka dapatkan di rumah memengaruhi sudut pandang mereka terhadap orang dewasa. Biru memiliki keinginan untuk bisa cepat dewasa. Sebab, dengan menjadi dewasa, ia bisa “menyetir” hidupnya sendiri dengan mandiri. Tanpa harus diatur, dikekang, atau meminta bantuan kepada orang tuanya. Sebaliknya, Agya sangat membenci orang dewasa. Dia menganggap orang dewasa itu egois, jahat, dan hanya memikirkan kebahagiaan mereka sendiri.
Lalu juga ada tokoh Filda, seorang perempuan dewasa muda yang anggun, sholihah, penyuka warna biru, dan suka membaca novel. Di sebuah momen yang unik, Biru bertemu dengan sosok Filda. Kemudian, algoritma takdir mengantarkan mereka pada pertemuan-pertemuan selanjutnya, yang sebelumnya tidak terduga akan terjadi. Interaksi antara Biru dan Filda setiap bertemu di Transjakarta itu sungguh manis dan sedikit menggelitik. Itu merupakan salah satu momen yang ikonik di novel ini.
Sejak pertemuan pertama, tanpa bisa dicegah, tumbuh sebuah rasa asing yang manis di hati Biru, kepada Filda. Di samping itu, meski Biru adalah cowok yang tidak populer, tidak terlalu pintar, dan sedikit gaptek, tetapi ia adalah seseorang yang berhati lembut. Ia pernah beberapa kali menolong Agya — yang merupakan teman sekelasnya — saat gadis itu sedang dalam masalah atau sekadar diisengi oleh murid-murid nakal. Dari hal itulah, perlahan muncul juga sebuah perasaan suka di hati Agya, kepada Biru.
Keindahan masa-masa SMA juga diceritakan dengan sangat manis oleh penulis. Misalnya kisah Agya dan teman-teman se-gengnya. Juga tentang Biru yang sepanjang SMA hanya berteman dengan Dimas, teman sebangkunya yang punya otak encer. Keseruan dan suka duka di masa-masa SMA itu benar-benar dirangkai dengan rapi dan gaya bahasa yang ringan. Sehingga, kita bisa menikmati setiap adegannya dengan nyaman, tanpa merasa bosan.
Membaca novel ini, kita tidak melulu disuguhi masalah cinta yang biasa. Sebab, novel ini pun kaya akan nilai-nilai kehidupan. Biru dan Agya, dalam perjalanan menyambut dewasa, konflik keluarga, kegelisahan ala anak kelas 12 SMA, drama pertemanan di sekolah, diperumit oleh kehadiran virus merah jambu yang hadir di antara mereka, serta selipan nilai-nilai islami di beberapa adegan, berhasil membuat kisah dalam novel ini menjadi kisah yang epik, unik, asik, dan memorable.
Hal yang menarik lagi dari novel ini, ternyata sang penulis menuliskan kisah ini karena terinspirasi dari anime movie berjudul “The Garden of Words”, atau “Kotonoha no Niwa” dalam bahasa Jepangnya. Film tersebut adalah salah satu anime garapan Makoto Shinkai yang cukup populer, selain “Kimi no Nawa” atau “Your Name”. Ada beberapa adegan di novel ini yang hampir mirip dengan adegan di film itu. Untuk yang sudah pernah menonton filmnya, pasti akan sangat gemas saat membaca novel ini. Sebab, memang mirip-mirip vibes-nya. Seolah-olah seperti “The Garden of Words” versi islami.
Salah satu quote dalam novel ini yang sangat membekas yaitu sebuah nasihat bijak yang pernah dituliskan Filda kepada Biru: “Yang mendewasakan seseorang bukan usianya, tapi bagaimana cara seseorang itu memandang permasalahan hidup. Juga bagaimana waktu yang memprosesnya menjadi lebih matang dari hari ke hari.” (hal 293).
IDENTITAS BUKU
- Judul: “Saat Kita Jatuh Cinta”
- Penulis: Aiu Ahra
- Genre: Fiksi remaja, romansa, religi
- Tahun Terbit: 2019
- Penerbit: Republika
- Jumlah Halaman: 298
- Nomor ISBN: 978-623-74583-0-2
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!