Tingkah laku kita adalah cerminan dari informasi yang kita dapatkan. Kita mendapatkannya dari apa yang kita baca, apa yang kita lihat, apa yang kita dengar, apa yang kita temukan, apa yang kita rasa, dan apa yang kita raba. Selanjutnya semua informasi tersebut masuk dalam pikiran kita, jiwa dan hati kita lalu menghasilkan dua hal, referensi dan pengalaman. Dua hal itulah yang lantas membentuk tingkah laku kita, sekarang ataupun di kemudian hari.
Kenapa kita cenderung optimis, semangat, dan pantang menyerah? Sebab referensi dan pengalaman kita selalu penuh dengan hal-hal tersebut.
Kenapa kita pesimis, risau, dan putus asa? Juga disebabkan referensi dan pengalaman kita yang selalu lekat dengan hal-hal tersebut.
Maka kalau kita tarik lebih luas lagi melihat gambaran interaksi manusia dengan sesamanya niscaya akan terlihat betapa dampak dari referensi dan pengalaman ini terkadang menjadi hal yang menggembirakan, tetapi di waktu lain juga menjadi hal yang menyebalkan.
Sebagai permisalan saja, adakah perbedaan tingkah laku dan budaya yang menjadi kekhasan dari masing-masing kita saat berbeda suku, bahasa, bangsa, lembaga, komunitas, mazhab, guru, ormas, partai, ataupun jamaah?
Tentunya sangat ada, dan boleh jadi ada diantaranya yang sangat-sangat mencolok. Dan itu semua karena masing-masing kita memiliki referensi dan pengalaman dari informasi yang telah dan terbiasa kita terima. Akhirnya kita terbiasa melakukan A tapi tak biasa melakukan B. Budaya kita adalah C dan tak ada D dalam budaya kita. E adalah tradisi kita, sedang F tak pernah kita praktikkan. Tata aturan kita adalah G dan kita tak bisa ada aturan H. Begitu seterusnya.
Semua kekhasan masing-masing kita suatu saat tak akan menimbulkan masalah sama sekali selama satu hal utama ini ada, yaitu kita tak pernah bersinggungan dan berinteraksi dengan orang yang berbeda referensi dan pengalaman dengan kita. Pendek kata, kita selalu ada dan berada pada lingkungan yang sama, pada komunitas yang sama, dan pada aturan dan budaya yang sama. Dan baru menjadi masalah saat kita bersinggungan dengan orang yang tak sama dengan kita.
Suatu saat kita akan dapati diri kita teramat susah menerima orang yang tak sama dengan kita dikarenakan referensi dan pengalaman kita yang begitu kuat dan lekat dengan kita. Ibarat warna celupan yang sulit meluntur. Bahkan pada hal-hal yang sifatnya fleksibel dan dinamis pada perkara agama sekalipun. Apalagi sebagian dari kita sudah sangat meyakini bahwa aturan, budaya dan tradisi dalam komunitas kita adalah juga perintah agama.
Maka jangan harap kita bisa berlapang dada menerima yang tak sama dengan kita. Begitu susahnya kita mengalah seakan-akan kita hendak meninggalkan hal prinsip dalam agama. Padahal suatu saat kita memang harus mengalah pada hal-hal yang tak prinsip dan tak selamanya bertahan dalam suasana yang beda dengan dalih bahwa kita sedang menjaga orisinalitas agama, atau bahkan orisinalitas budaya komunitas dan lembaga.
Dulu, dalam hadits sahih riwayat Imam Bukhari no.126 bahwa Rasulullah ﷺ pernah menyampaikan kepada Aisyah akan keinginannya mengubah bangunan pintu Ka’bah menjadi dua tapi diurungkan dengan alasan khawatir kaum muslimin Mekkah yang baru masuk Islam belum bisa menerima perubahan bangunan saking lekatnya tradisi mengagungkan Ka’bah yang begitu sakral. Padahal apa yang akan beliau lakukan sudah pasti atas bimbingan dari Allah. Namun Rasulullah ﷺ tetap mengurungkannya demi kemaslahatan. Komentar Alhafidz Ibnu Hajar, seorang pemimpin dibolehkan bersiasat dalam mengatur rakyatnya untuk kemaslahatan meski dengan pilihan yang tidak utama selama ia tidak haram.
Ibarat bangunan dan tatanan batu bata, bila ia tak bisa dan tak mau beradaptasi dengan mengalah untuk memberikan tempat kepada satu batu bata yang tak sama bentuknya maka akan menjadi madharat bagi yang lain. Bahkan sekadar dipandang mata pun tak sedap.
Tapi, mengalah memang berat…
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!