Presiden Prabowo Subianto, dalam pidato pertamanya usai dilantik, menyampaikan ambisi besar yaitu menjadikan Indonesia swasembada pangan dalam lima tahun ke depan. Di dalam situasi global yang semakin tidak menentu, ketahanan pangan memang menjadi kunci bagi keberlangsungan sebuah negara. Krisis global yang sering kali mendorong negara-negara untuk fokus pada kepentingan domestik masing-masing telah menegaskan pentingnya bagi Indonesia untuk mampu mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangannya.
Di dalam sebuah kesempatan, Prabowo dengan yakin mengatakan bahwa paling lambat 4-5 tahun ke depan kita akan swasembada pangan. Bahkan, kita siap menjadi lumbung pangan dunia. Untuk mewujudkannya, Prabowo membentuk Kementerian Koordinator Bidang Pangan yang dipimpin oleh Zulkifli Hasan, yang bertanggung jawab mengawasi sejumlah kementerian dan lembaga terkait.
Target Indonesia untuk mencapai swasembada pangan dalam lima tahun ke depan, sebagaimana dinyatakan oleh Presiden Prabowo, adalah ambisius dan menantang. Sebab, saat ini beberapa komoditas pangan strategis semisal beras, gandum, gula, kedelai, hingga bawang putih, masih diimpor dalam jumlah signifikan.
Beras, misalnya, yang merupakan bahan makanan pokok rakyat Indonesia. Sepanjang tahun 2024 ini Indonesia berencana mengimpor beras hingga 5,17 Juta Ton. Realisasi impor Januari-April 2024 telah mencapai 1,77 juta ton dan rencana impor Mei-Desember 2024 sebesar 3,40 juta ton. Jika terealisasi juga akan mengantarkan Indonesia menjadi negara importir beras terbesar di dunia, mengalahkan Filipina yang rata-rata mengimpor beras di kisaran 4 juta ton setiap tahunnya.
Ini menunjukkan bahwa kemandirian pangan belum sepenuhnya tercapai. Dan untuk menuju swasembada, pemerintah harus mengatasi berbagai masalah struktural yang selama ini membatasi sektor pertanian nasional.
Indonesia masih menghadapi beberapa masalah terkait produksi pangan domestik. Ada sejumlah tantangan utama yang kita hadapi. Pertama, Jatuhnya kapasitas produksi pangan domestik. Ada beberapa faktor yang menyebabkan produksi pangan jatuh, semisal banyak petani menggunakan metode pertanian tradisional yang kurang efisien, dan akses terhadap teknologi modern serta input pertanian berkualitas sering kali terbatas. Hal ini mengakibatkan produktivitas lahan yang tidak optimal dan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional.
Kedua, Keterbatasan lahan pertanian. Isu paling mendasar pada jatuhnya produksi pangan nasional, terutama beras, saat ini adalah alih fungsi lahan sawah yang terus terjadi secara masif. Meski telah memiliki UU Nomor 41/2009 tentang Perlindungan LP2B (Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan), namun alih fungsi lahan sawah masih terus terjadi.
Alih fungsi lahan adalah ancaman serius bagi sektor pertanian. Salah satu penyebab signifikan adalah konversi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian, terutama untuk proyek pembangunan infrastruktur semisal jalan tol, kawasan perumahan, dan komersial.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh IDEAS, Alih fungsi lahan sawah yang terus terjadi ini dikonfirmasi oleh luas lahan panen padi nasional yang konsisten menurun dalam 6 tahun terakhir. Jika di tahun 2018 luas lahan panen padi di Indonesia masih mencapai 11,38 juta hektare, maka di 2023 hanya tersisa 10,21 juta hektare, turun sebesar 10,28% selama 6 tahun terakhir.
Luas lahan panen padi yang turun secara konsisten mengindikasikan bahwa ada sawah yang secara permanen tidak lagi menghasilkan panen karena mengalami alih fungsi lahan. Indikasi ini kuat terlihat pada penetapan lahan sawah yang dilindungi (LSD) pada 2021.
Di delapan provinsi sentra beras yaitu Sumbar, Banten, Jabar, Jateng, DIY, Jatim, Bali dan NTB, luas LBS 2019 adalah 3,97 juta hektare. Namun pada 2021, hanya 3,84 juta hektare sawah saja di 8 provinsi tersebut yang dapat ditetapkan menjadi LSD. Dengan kata lain, 136.000 hektare sawah di 8 provinsi sentra beras tersebut diduga kuat telah mengalami konversi di sepanjang 2019-2021.
Ketiga, infrastruktur yang mendukung distribusi hasil pertanian masih kurang memadai. Banyak daerah penghasil pangan, terutama di luar Jawa, mengalami kesulitan dalam mengirimkan hasil panen ke pasar akibat buruknya kondisi jalan, fasilitas penyimpanan yang terbatas, serta ketidakmampuan untuk mengelola logistik dengan efisien.
Ketidakstabilan rantai pasok ini menyebabkan ketidakseimbangan pasokan dan harga di pasar domestik, yang sering kali menjadi alasan pemerintah untuk membuka keran impor demi menjaga stabilitas harga. Di dalam upaya mencapai swasembada pangan, perbaikan infrastruktur distribusi menjadi kunci agar hasil pertanian dapat diakses dengan lebih cepat dan murah.
Keempat, Akses petani terhadap modal juga menjadi tantangan. Banyak petani kecil kesulitan mendapatkan pendanaan yang cukup untuk meningkatkan produksi mereka. Tanpa akses terhadap kredit yang mudah dan murah, para petani sulit melakukan investasi dalam peralatan atau teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!