M. Hilal Tri Anwari

Masyarakat beragama umumnya memandang perkara semacam ini sangat menjijikkan. Bahkan mungkin enggan membaca lebih lanjut tatkala judul berita seperti itu muncul di gawai. Bisa karena ngeri, mungkin juga tak tega, atau bisa jadi amat risih dengan bayang dosa dan dampak yang sungguh keji bagi korban.

Di tengah peringatan hari pahlawan ini, kita jerih membayangkan hilangnya ketulusan. Seperti mutiara yang menyelinap di antara rerimbun belantara pamrih-pamrih. Betapa massif-nya seruan untuk mabuk pujian, bahkan tanpa beban melakukan eksploitasi nilai kepahlawanan untuk sekadar menjadi tontonan.

Sesungguhnya harus diakui, kita sedang mengalami krisis kepahlawanan. Kita punya banyak daftar nama-nama pahlawan, kisah tentang heroisme pun memang ditanamkan di sekolah-sekolah, namun semua itu sebatas sebagai sebuah pengetahuan. Tidak ada keteladanan dan tidak ada figur!

Cawe-cawe sebagai istilah bahasa Jawa, memiliki makna “Ikut terlibat, nimbrung dalam suatu pekerjaan atau urusan, membantu, dan seterusnya”. Maka, tidak cawe-cawe dengan demikian memiliki makna “tidak ikut terlibat”.

Kisah Candi Prambanan adalah kisah yang menarik. Melibatkan dua pusat kekuasaan, Pengging dan Prambanan. Kisah menjadi kian menggoda, ketika dalam intrik adu kekuatan politik dan militer itu, menyelinap sepenggal kisah cinta yang lalu terabadikan dalam patung Roro Jonggrang.

Ada 8 partai berhimpun dalam KIM. Beberapa di antaranya adalah partai besar dengan pengaruh dan pengalaman panjang. Beberapa lainnya partai baru yang butuh cantolan. Semua ingin mengajukan kader terbaik sebagai Cawapres bagi Prabowo Subianto. Fakta ini jadi masalah krusial koalisi besar tersebut.

Di balik pendeknya umur anak cucu Adam, Allah anugerahkan syahwat yang besar. Saking besarnya syahwat itu, manusia kerap terhalangi untuk melihat fakta-fakta kebesaran alam yang terbentang di depan matanya. Bahkan, manusia begitu pongah untuk menelan bumi dan segala sumber dayanya.