Aku tak sedang mengajak Anda untuk bicara angka-angka statistik. Tentang berapa jumlah korban jiwa, berapa rumah penduduk yang hancur, atau gedung, rumah sakit, sekolah, masjid, hingga fasilitas publik dan infrastruktur strategis yang telah hancur. Aku juga tak mengajak Anda untuk menjadi juru taksir berapa kerugian, berapa dana yang telah dikucurkan, dan masih perlu berapa lagi agar perang ini usai.
Semuanya telah dikabarkan. Demonstrasi Sabtu kemarin bahkan mengajak dunia untuk melihat angka-angka korban, media massa pun saban hari melakukan update terkait jumlah dan angka-angka. Maka, biarlah angka bicara dengan bahasanya sendiri.
Tetapi aku ingin mengajak Anda bicara tentang yang tidak tampak, yang tak terukur, dan yang tak mungkin dikonversi dengan kompensasi materi.
Pertama, tentang Kesedihan
Selama 100 hari perang, apakah ada yang mampu mengukur kesedihan? Misalnya, ada sekian juta metrik ton kesedihan akibat perang tersebut? Sebab, ternyata kesedihan tak melulu bicara tentang berat dan tekanan. Ada kalanya kesedihan itu berupa rasa. Ya, rasa yang perih tiada terperi. Penyebab dari rasa perih itu sendiri bahkan beragam. Tak sekadar akibat sayatan luka. Perih itu kerap muncul akibat tamparan pada perasaan, ketidak berdayaan, kehilangan secara paksa, dan sejumlah trauma psikologis. Lalu tahukah Anda, cara mengukur akumulasi perih yang kompleks itu?
Terkadang pula kesedihan muncul dalam rentang durasi, waktu, dan kecepatan. Perang selama 7 hari mungkin tak menyulut kesedihan bagi warga Gaza. Secara turun temurun, mereka telah terbiasa dengan letupan-letupan perang. Biasa pula melihat anggota keluarganya tewas. Ada sejenak kesedihan, namun akan lekas hilang.
Selama 100 hari dalam serangan yang membabi buta, menggunakan alat-alat pembunuh paling mutakhir, bom yang meluncur layaknya hujan, serangan yang sangat cepat, risiko kematian yang hadir dalam durasi detik. Bagaimana mengukur panjang kesedihan dalam rentang dan durasi waktu? Sementara sang waktu terasa berselisih, subyektif, dan relatif. Serangan yang terlalu cepat dan massif membuat waktu seakan berjalan lama untuk selamat, dan terasa begitu cepat untuk sampai pada gerbang kematian. Kapan ini akan berakhir? Begitulah ratap kesedihan itu.
Jika Anda belajar tentang fisika, tentu pernah tahu rumus untuk mengukur kecepatan. V=S/T, dimana V adalah kecepatan, S adalah jarak, dan T adalah waktu. Cobalah ukur jika mampu, untuk melihat seberapa panjang rentang kesedihan yang muncul dalam 100 hari perang ini.
Baca juga: Reformasi Pengelolaan Anggaran Umar bin Abdul Aziz
Sedih terkadang juga maujud dalam bentuk ketercerabutan paksa. Pernah mencabut serumpun rumput? Akar rumput yang tertanam dalam tanah akan merobek tanah itu jika Anda mengeluarkannya dengan paksa. Bayangkan, jika perasaan manusia adalah rumput, maka akarnya tertimbun dalam hati dan jiwa.
Di hati masyarakat Gaza telah tumbuh rumpun-rumpun cinta kepada tanah airnya, kepada keluarganya, kepada rumahnya, kepada hartanya, dan tentu saja telah lama tumbuh cinta kepada agama dan Tuhannya. Bayangkan, rumpun-rumpun cinta itu satu per satu dicabut paksa dari sekaveling hati mereka. Ketika penjajah Israel mencabut rumpun cinta mereka kepada sang ayah, tercabiklah hati mereka untuk pertama kalinya. Belum kering luka di hati itu, penjajah merenggut paksa pula sang paman, lalu kakak, adik, rumah, mobil, dan kampung halaman mereka. Kata “tercabik-cabik hatinya” tak bisa lagi mewakili kesedihan akibat ketercerabutan yang bertubi-tubi itu. Lalu bagaimana mengukur luka dan kerusakan medis akibat ketercerabutan itu?
Kedua, tentang Iman
Anda pasti tahu, keimanan telah lama bersahabat dengan kesedihan. Karena iman, maka kesedihan terobati. Luka batin yang terkoyak direkatkan kembali oleh iman. Kesedihan, ibarat sumur yang dalam lagi gelap. Iman adalah matahari di atas sumur, yang memunculkan terang dan menumbuhkan harapan.
Sirah perjalanan para nabi membuktikan bahwa kelompok masyarakat yang dekat dengan kesedihan umumnya lebih subur hatinya untuk ditumbuhi batang-batang keimanan. Mengapa? Sekali lagi karena iman memiliki kekuatan yang ajaib untuk menghapus kesedihan, menumbuhkan harapan, dan melahirkan energi yang dahsyat, termasuk energi perlawanan!
Di dalam cahaya iman itu, kematian tak lantas menenggelamkan perasaan suatu kaum dalam elegi yang melankolis. Sebaliknya, iman justru kerap mengubah kesedihan karena kematian menjadi epik. Perlawanan, kepahlawanan, dan spirit untuk menyongsong kematian di jalan Allah menjadi cara terbaik untuk menebus kemuliaan yang hakiki di sisi manusia dan di sisi Allah ﷻ.
Seberapa kuat iman penduduk Gaza? Aku dan Anda semua tak mungkin mengukurnya. Tetapi bisa membandingkannya. Apa yang dibandingkan? Akumulasi derita dan kesedihan mereka dengan kesedihanmu. Ketaatan mereka kepada Allah dengan ketaatanmu kepada Allah. Besaran masalah yang mereka hadapi dengan masalah yang Anda hadapi. Kesabaran mereka menghadapi masalah dengan kesabaranmu menghadapi masalahmu.
Berkah dari iman, merupakan kunci penting bagi Gaza untuk tetap mampu bertahan dari gempuran militer penjajah Israel. Konon, militer Israel adalah yang paling canggih di dunia. Di dalam ukuran matematis, semestinya dalam 3 hari Gaza dapat dianeksasi oleh kekuatan militer Israel. Tetapi faktanya tak seperti itu. Variabel iman sebagai realitas yang tak nampak, justru menjadi pembeda yang utama dan penting.
Baca juga: Menang dengan Kekuatan Minimal
Serdadu Israel terlatih dan didukung teknologi tinggi. Mujahidin Hamas hanyalah laskar yang berlatih sungguh-sungguh, tanpa dukungan pendidikan kemiliteran yang formal dan khusus, serta alat yang mereka miliki pun tergolong peralatan rakitan dengan dukungan teknologi seadanya. Tetapi, penjajah Israel tak mampu menumpas mereka. Sebaliknya, penjajah Israel malah kedodoran dalam jebakan taktik perang kota Hamas.
Jadi, dalam 100 hari Perang Gaza ini, mari terus kita bantu perjuangan mujahidin di Palestina dengan apa pun yang kita mampu. Suarakan terus hak-hak kemanusiaan mereka, agar masyarakat internasional lebih obyektif melihat perang Gaza. Termasuk, yang paling penting, dengan doa tulus untuk kemenangan mujahidin di Palestina.
Selebihnya, mari kita penuhi seruan Allah dalam surat Ali Imron ayat 139. “Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang beriman.”
Penduduk Gaza pasti bersedih atas apa yang mereka alami. Itu manusiawi. Tetapi mereka paham ayat itu, dan Allah tengah menguatkan mereka. Kita patut dan bahkan wajib berempati terhadap derita mereka. Namun jangan pernah memandang mereka lemah, layaknya kelemahan kita.
Kita doakan terus, kiranya Allah ﷻ semakin menguatkan kedudukan mereka. Sembari becermin, untuk mematut-matut derajat kesedihan mereka dengan derajat kesedihan kita. Lalu, introspeksi diri dengan keluhan-keluhan kita yang tak pernah berujung.
Mereka tak mengeluh. Mereka melawan. Mereka berjuang, tak cinta dunia dan tak takut mati! Kau dan Aku di sini, begitu cinta dunia dan takut mati!
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!