Banyak orang yang ketika ditimpa kemalangan, mereka merasa Tuhan tidak adil. Mereka pun memilih untuk menempuh cara haram demi menghilangkan kegundahan. Ribut rumah tangga, ekonomi sulit, maka pelampiasannya adalah dugem ke club malam, minum arak, main perempuan, berjudi, dan lain-lain. Akhirnya dosa pun menumpuk dan sering kali berakhir dengan su`ul khatimah, yaitu mati ketika melakukan maksiat.
Sebaliknya, kalau diberikan karunia berupa harta dan kesenangan, mereka langsung lupa daratan dan lautan sekaligus. Tak mau bersedekah, enggan bayar zakat, tak peduli dengan kesusahan orang lain, bahkan sama keluarga besar menjadi angkuh. Juga sering berujung menggunakan karunia Allah untuk maksiat sampai mati di dalamnya.
Allah Ta’ala berfirman:
"9. Sungguh, jika Kami cicipkan kepada manusia suatu rahmat dari Kami kemudian Kami cabut kembali darinya, sesungguhnya dia menjadi sangat berputus asa lagi sangat kufur (terhadap nikmat Allah).
"10. Sungguh, jika Kami cicipkan kepadanya (manusia) suatu nikmat setelah bencana yang menimpanya, niscaya dia akan berkata, 'Telah hilang keburukan itu dariku'. Sesungguhnya dia sangat gembira lagi sangat membanggakan diri.
"11. Kecuali, orang-orang yang sabar dan beramal saleh, bagi mereka ampunan dan pahala yang besar."
Betapa indah rangkaian firman Allah ini. Manusia itu kalau tidak ya`uus kafur maka jadi farihun fakhuur, kecuali mereka yang dijelaskan di ayat berikutnya, yaitu yang bersabar dan beramal saleh. Mereka ini dijauhkan Allah dari sifat di ayat sebelumnya karena kesabaran dan amal saleh yang mereka lakukan.
Ayat ini senada dengan firman Allah di tempat lain yaitu di surah Asy-Syuura ayat 48:
”Sesungguhnya apabila Kami merasakan kepada manusia sedikit dari rahmat Kami, dia gembira karenanya. Akan tetapi, jika mereka ditimpa kesusahan disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, (niscaya mereka ingkar). Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar (pada nikmat)”.
Ayat lain yang senada adalah surah Fushshilat ayat 49 – 51.
Kata fariha (gembira) yang terlarang di sini adalah kegembiraan melampaui batas seperti yang dilakukan orang-orang yang tak sadar agama. Mereka menganggap semua nikmat yang mereka peroleh hanyalah karena usaha mereka sendiri. Mereka lupakan bahwa itu hanyalah pemberian Allah semata. Itulah gembiranya Qarun seperti yang dijelaskan Allah di surah Al-Qasash.

Ada pun gembira sembari mengingat Allah, maka itu justru kewajiban. Sebab, kegembiraan seperti itu merupakan pertanda syukur.
Kesabaran itu tidak akan diperoleh tanpa adanya ilmu dan pelatihan hati sesuai tuntunan agama. Melatih kesabaran haruslah dengan menenangkan suasana hati, dan itu bisa diperoleh dengan banyak bergaul dengan orang-orang saleh, aktif terlibat dalam aktivitas kebaikan, rajin ke majlis taklim, mendengarkan nasihat serta ceramah agama.
Sedangkan amal saleh bisa diusahakan dengan yang paling mudah semisal merutinkan shalat sunnah rawatib, witir dan dhuha, puasa sunnah, membaca Al Qur`an, rajin sedekah, dan berdonasi.
Jika sudah terlatih, maka kesabaran dan amal saleh itu yang akan menyelamatkan diri dari penyakit putus asa dan kufur nikmat ketika diuji dan bangga dengan kesombongan ketika diberi nikmat.
Lathifah
Yang unik baik dalam surah Huud, surah Asy-Syuura, maupun surah Fushshilat di atas, Allah menggunakan kata (أَذَقْنَا) yang bisa diartikan kami berikan rasanya, atau kami cicipkan. Dari kata dzauq yang berarti merasakan dengan Indera manusia biasanya dengan lidah. Seakan Allah menggambarkan bahwa kesenangan duniawi hanyalah ibarat orang merasakan rasa pada makanan yang cepat hilang ketika sudah masuk ke perut. Juga mengesankan bahwa Allah seakan hanya mencicipkan rasa kesenangan itu, bukan memberikannya dalam bentuk penguasaan. Makanya, ketika rasa itu dicabut manusia merasa terguncang dan langsung berputus asa sehingga kufur nikmat.
Sebaliknya ketika dicicipkan kembali rasa nikmat itu setelah sebelumnya menderita, maka mereka seakan lupa sehingga membanggakan diri sampai pada taraf kesombongan dengan apa yang mereka dapatkan. Padahal, itu hanya sementara. Ibarat hanya sekadar mengecap rasa yang mudah hilang dan berganti dengan asam di lidah.

Makanya, yang membuat kenikmatan itu terasa hakiki hanyalah syukur kepada sang pemberi nikmat. Dan salah satu bentuk syukur itu adalah menggunakan nikmat yang ada hanya untuk jalan kebaikan atau hal yang diridhai oleh Allah.
Anshari Taslim

Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!