Penegakan hukum di Indonesia sering kali menjadi sumber frustrasi bagi masyarakat yang berharap hukum ditegakkan dengan adil dan konsisten. Masyarakat mengalami kekecewaan ketika melihat banyaknya kasus korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, serta ketidakadilan yang terjadi dalam penanganan hukum.
Seorang ahli kriminologi, Bambang Widodo Umar, dalam berbagai tulisan menyatakan bahwa ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum menunjukkan kegagalan dalam mewujudkan cita-cita negara hukum (rechstaat). Kasus-kasus yang melibatkan pejabat tinggi sering kali menunjukkan adanya perbedaan perlakuan hukum yang semakin mengukuhkan posisi hukum sebagai alat kekuasaan (tool of power), bukan sebagai instrumen keadilan.
Empiriknya, penegakan hukum kerap kali menunjukkan bias dan dipengaruhi oleh kekuasaan. Contoh kasus, penyidikan terhadap pelaku korupsi dari kalangan elite sering kali tertunda atau bahkan dihentikan dengan berbagai alasan administratif.
Ahli hukum, Todung Mulya Lubis, menyebutkan bahwa penegakan hukum di Indonesia sering kali terjebak dalam kepentingan politik, sehingga aturan hukum hanya diterapkan secara selektif alias tebang pilih. Kasus-kasus besar korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan yang melibatkan figur-figur politik atau pebisnis besar sering kali tidak mendapatkan hukuman yang setimpal.
Penegakan hukum yang sering kali dimanfaatkan sebagai alat kekuasaan atau kepentingan ekonomi oknum tampak jelas dalam beberapa kasus besar di Indonesia. Sebagai contoh, baru-baru ini, tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya ditangkap terkait dugaan suap dalam kasus Ronald Tannur.
Kasus tersebut mencuat setelah Ronald Tannur, terdakwa dalam kasus kekerasan yang menewaskan seorang mahasiswi, dibebaskan oleh ketiga hakim tersebut, meski bukti-bukti yang memberatkannya dianggap kuat. Penangkapan tiga hakim itu memerlihatkan betapa rentannya lembaga peradilan terhadap praktik suap dan korupsi, serta memertegas pandangan bahwa hukum di Indonesia belum sepenuhnya independen.
Ahli hukum, Emerson Yuntho, menyebut bahwa kasus ini mencerminkan krisis moral di kalangan penegak hukum dan memerburuk persepsi publik terhadap peradilan. Ketika hakim yang seharusnya menjamin keadilan justru terlibat dalam kasus suap, masyarakat kehilangan harapan bahwa hukum dapat melindungi hak mereka secara adil.
Kasus ini menjadi contoh nyata dari teori “hukum sebagai alat kekuasaan”, di mana pihak yang memiliki kekuatan ekonomi atau akses politik dapat menghindari hukuman melalui praktik-praktik ilegal.
Sebagai negara yang diakui berlandaskan hukum atau rechstaat, Indonesia seharusnya menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan di hadapan hukum.
Menurut teori Hans Kelsen, negara hukum idealnya menegakkan supremasi hukum, di mana hukum tidak boleh tunduk kepada kekuasaan atau pengaruh politik. Namun, di Indonesia, prinsip tersebut sering kali mengalami distorsi.
Pelaksanaan hukum yang tidak konsisten dan diskriminatif membuat masyarakat memertanyakan konsep rechstaat yang seharusnya mengakar kuat dalam sistem pemerintahan. Implikasi dari penegakan hukum yang dipengaruhi kepentingan politik sangat merugikan.
Hukum yang digunakan sebagai alat politik dapat menimbulkan ketidakadilan struktural dan menurunkan moralitas penegak hukum. Pakar hukum, Saldi Isra, berpendapat bahwa ketika hukum digunakan sebagai alat politik, penegak hukum kehilangan kredibilitas dan legitimasi di mata publik. Dampaknya, masyarakat tidak lagi memercayai sistem peradilan dan bahkan memilih jalan pintas dalam mencari keadilan. Kondisi ini menjadi ancaman serius terhadap kestabilan sosial dan tata kelola pemerintahan yang sehat.
Secara internasional, terdapat banyak negara yang berhasil menerapkan prinsip negara hukum secara konsisten dan memeroleh kepercayaan publik yang tinggi. Negara-negara Skandinavia semisal Swedia dan Norwegia sering dianggap sebagai contoh negara hukum yang sukses. Menurut penelitian yang dilakukan oleh John Rawls, sistem hukum di negara-negara tersebut ditegakkan secara adil dan merata tanpa diskriminasi, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap hukum sangat tinggi.
Hal ini menunjukkan pentingnya integritas lembaga penegak hukum dan komitmen pemerintah dalam menjamin keadilan. Di Indonesia, terdapat kebutuhan mendesak untuk membangun sistem hukum yang independen dan adil.
Menurut teori hukum progresif Satjipto Rahardjo, hukum harus dirancang dan diterapkan bukan hanya untuk menjaga ketertiban, tetapi juga untuk mencapai keadilan substantif. Rahardjo berpendapat bahwa hukum yang progresif harus mampu merespons kebutuhan masyarakat dan berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan.
Tanpa komitmen untuk memisahkan hukum dari kepentingan politik, keadilan hukum akan sulit dicapai, dan kekecewaan masyarakat terhadap sistem hukum akan terus berlanjut.
Selain membangun hukum yang progresif, moralitas dan integritas penegak hukum perlu diperkuat. Penegak hukum harus memiliki komitmen yang kuat untuk menjunjung tinggi prinsip keadilan dan tidak terpengaruh oleh tekanan politik atau ekonomi.
Ahli etika hukum, Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, menegaskan bahwa penegakan hukum yang etis dan bermoral adalah kunci untuk menciptakan kepercayaan publik. Tanpa moralitas yang kokoh, hukum hanya akan menjadi alat yang mudah dimanipulasi.
Mewujudkan penegakan hukum yang adil dan independen memerlukan reformasi menyeluruh, baik dalam institusi hukum maupun pendidikan etika bagi para penegak hukum. Di dalam konteks ini, Indonesia perlu becermin dari negara-negara yang sukses menegakkan hukum secara konsisten dan menerapkan teori-teori hukum yang berpihak kepada keadilan.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!