Jaksa Agung Sudan, Maulana Al-Fatih Muhammad Issa Tayfour, mengungkapkan, Pasukan Pendukung Cepat telah melakukan “kejahatan keji yang mempermalukan kemanusiaan”. Kejahatan mereka itu termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida di beberapa wilayah Sudan. Di dalam konferensi pers pada Senin (23/12/2024), Tayfour mengonfirmasi, otoritas peradilan Sudan sedang memroses kasus tersebut. Mereka mengadili terdakwa secara lokal, dan proses secara in-absentia (proses peradilan tanpa menghadirkan terdakwa, red) terhadap para buronan. Pertemuan itu berlangsung di aula dinas intelijen, Port Sudan.
Tayfour yang juga Ketua Komite Nasional untuk Kejahatan Pelanggaran Hukum Nasional dan Hukum Humaniter Internasional itu menjelaskan, pihak berwenang telah mencatat lebih dari 960 kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh Pasukan Pendukung Cepat (RSF). Dan masih ada kasus lain yang belum dilaporkan. Jaksa Umum itu menambahkan, pihaknya menerima banyak sekali laporan tentang pelanggaraan RSF.
“Kami telah menerima lebih dari 31.000 laporan mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh RSF. Termasuk pembebasan 19.481 narapidana dari penjara dan mereka merekrutnya ke dalam jajarannya,” tutur Tayfour.
Tayfour menambahkan, Pasukan Dukungan Cepat menghentikan layanan 250 rumah sakit, dan menggunakan 15 di antaranya untuk tujuan militer. Mereka telah menyerang lebih dari 540.000 obyek sipil, yang 80% di antaranya adalah rumah warga. Tindakan itu telah menyebabkan kehancuran luas terhadap infrastruktur kesehatan dan sosial.
Pasukan Pendukung Cepat telah menargetkan masyarakat Masalit di kota El Geneina, Negara Bagian Darfur Barat. Mereka melakukan aksi pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pengusiran paksa terhadap penduduk dari Negara Bagian.
Tayfour juga mengatakan, pihak berwenang Sudan sedang berkomunikasi dengan enam negara (yang namanya tidak dia sebutkan) mengenai ekstradisi terhadap tersangka (penyerahan kembali tersangka ke negara asalnya, red). Mereka menyampaikan harapan kerja sama kepada negara-negara tersebut di tingkat global dan regional.
“Jika terdakwa tidak diekstradisi, maka prosedur akan tetap dilanjutkan walau akan diadili secara in absensia. Dan Sudan siap untuk bekerja sama dengan negara lain sesuai dengan perjanjian internasional terkait ekstradisi pelaku kejahatan,” tegas Tayfour.
Konfrontasi di antara tentara Sudan dan Pasukan Dukungan Cepat dimulai pada 15 April 2023, karena perbedaan pendapat antara kedua pihak mengenai reformasi dan integrasi militer. Semua inisiatif yang diusulkan untuk mengatasi krisis dan mengakhiri konfrontasi berakhir dengan kegagalan dan tidak membuahkan hasil positif.
Menurut data PBB, bentrokan tersebut mengakibatkan lebih dari 20.000 orang meninggal, lebih dari 3 juta orang meninggalkan negara tersebut, sekitar 9 juta lainnya menjadi pengungsi internal, dan lebih dari 25 juta orang bergantung pada bantuan.
(Sumber: Al Jazeera Mubasher)
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!