Anak PII yang dibesarkan Dewan Da'wah (Bagian 2)

Anak PII yang dibesarkan Dewan Da'wah (Bagian 2)

Sabili | Sentuhan pertama kali dengan dakwah dimulai ketika duduk dibangku SMA. Siddik remaja aktif menjadi anggota PII, mulai dari pengurus ranting, cabang, wilayah. Pada 1962  hijrah ke Jakarta menjadi anggota Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PII).

Siddik muda pernah singgah kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI), tidak selesai. Pindah kuliah ke Universitas Nasional (UNAS) memilih kuliah sore. Keputusan ini diambil karena ayahnya sebagai tulang punggung keluarga meninggal dunia. Namun hidupnya harus terus berlanjut, jadilah dia menggantikan peran ayahnya.  Siddik harus bekerja untuk membiayai pendidikan, membantu orang tua dan keluarganya. Alhamdulillah, meski terseok-seok dengan beban nafkah keluarga besarnya Siddik bisa menyelesaikan kuliah di UNAS hingga tamat sarjana.

Selain karena pertimbangan harus bekerja, ada juga alasan lainnya; karena pada waktu itu UI dan universitas plat merah lainnya harus menjalankan arahan dan tekanan dari Bung Karno. Dalam arti kampus tidak netral. Jadi ideologi Bung Karno itu dijejalkan ke otak mahasiswa. Marhaenisme sebagai bahan kuliah dan menjadi pegangan di berbagai kampus. Politik, ekonomi, dan semua yang terangkum dalam konsep Demokrasi Terpimpin, Manipol Usdek, jadi pelajaran wajib.

Kampus UNAS yang waktu itu dipimpin oleh cendikiawan yang berintegritas masih independen; Prof.Delliar Noer. Pilihan ini diambil Siddik agar tak teracuni oleh pemikiran ideologi di luar Islam. Ideologi Soekarno secara massif disebarkan, suasana ini berlangsung hingga meletus peristiwa Gestapu PKI.

Begitu tamat dibangku kuliah pada 1967, Siddik segera sowan kepada gurunya Allahuyarham Bapak Mohammad Natsir. Sang Guru menyambut hangat dan mengajaknya untuk bergabung ke Dewan Dakwah yang waktu itu baru saja didirikan di Masjid Al-Munawarah Tanah Abang Jakarta.

Ketika hendak memutuskan untuk berhenti dari Kampus UI pada 1964  bukan karena kemauannya sendiri. Tetapi lebih karena harus bekerja membantu keluarga (orang tua dan adik-adik), sejak ayahnya meninggal dunia pada bulan Desember 1963. Siddik sempat down, tidak ada kesempatan belajar lagi karena tidak mampu untuk membiayai kuliahnya.

Sebagai anak laki-laki tertua dari delapan bersaudara (masih ada kakak perempuan) beliau merasa harus mengambil alih tanggung jawab keluarga. Ayahnya hanya seorang pedagang kecil, yang mengajarkan etos semangat kerja walaupun tidak meninggalkan harta kecuali pendidikan agama yang mendalam disanubarinya. Itulah yang ia sangat syukuri, mengenang itu semangatnya pun bangkit.

Terlebih di organisasi diajarkan kemandirian, baginya semua kegiatan di PII bagian dari kegiatan dakwah. Siddik sering mengisi pelatihan dengan berbagai topik yang selalu dihubungkan dengan konsep Islam.

Kabar ayahnya meninggal pun terlambat diterima karena keterbatasan komunikasi pada waktu itu. Ketika ayahnya meninggal, Siddik sedang di Manado menghadiri acara Konferensi Wilayah PII Sulawesi Utara.

“Tugas menghadiri Musywil PII di Manado belum selesai, namun seperti ada desakan untuk saya segera pulang. Saya tidak tahu, tapi karena naik pesawat mahal, maka segera ia naik kapal, karena sampai di Jakarta setelah satu pekan dan satu pekan perjalanan lagi perjalanan ke kampung,” ujarnya dalam sebuah wawancara.

Setelah ayahnya meninggal rasanya tidak mungkin ia untuk kembali menuju bangku kuliah, karena ia harus bekerja membantu keluarganya. Selain jiwa semangat PII dan etos kerja ayah, kebesaran hati ibunya terus memberikan dorongan semangat belajar. Dia melanjutkan kuliahnya di Jakarta.

Paginya Siddik bekerja sebagai staf lokal Bagian Pers Kedutaan Pakistan, sore kuliah di fakultas Sosial Ekonomi Politik UNAS.

Pada 1966 ia terpilih menjadi Sekretaris Jenderal Komite Pemuda Indonesia (KPI) yang berafiliasi kepada World Assembly of Youth (WAY) sebuah organisasi yang sebelum peristiwa Gestapu pernah dibubarkan Bung Karno yang menganggap berafiliasi ke Barat.

Komite Pemuda Indonesia (KPI) ini merupakan organisasi yang mewadahi para pemuda dan pelajar yang berhaluan kanan, anti Komunis sedangkan organisasi afiliasinya, WAY berpusat di Brussel, Belgia. Ada sekitar 17 organisasi pemuda pelajar dan mahasiswa yang bergabung dalam KPI anggota WAY.

Sebagai Sekjen KPI dan kepeduliannya melatih pemuda dan mahasiswa Indonesia agar bisa tampil dalam dinamika dunia internasional, Siddik kemudian mengirimkan beberapa belasan pemuda dan mahasiswa ke luar negeri. Diantara mahasiswa yang pernah dikirim; Lukman Harun, Arif Rahman (tokoh pendidik), Asnawi Latif (mantan anggota DPR) ke Eropa, Umar Basalim ke India, Mansur Amin ke Srilanka.

Mereka kemudian pulang dan membawa pengalaman dari apa yang mereka lihat di luar negeri. Setelah pemilu 1971 Komite Pemuda Indonesia direkayasa oleh GOLKAR menjadi KNPI yang menjadi jaringannya, meski sebagian organisasi tidak sedia ikut masuk KNPI.

Pada 1970 -setelah empat tahun menjadi Sekjen KPI- Siddik terpilih  menjadi salah satu dari lima delegasi. Dia sekaligus menjadi juru bicara delegasi Indonesia pada Kongres Pemuda Sedunia yang diadakan PBB di New York. Perhelatan ini dalam rangka ulang tahun PBB ke 25.

Dengan persetujuan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang menyusun delegasi RI bersama Departemen Luar Negeri, Siddik kemudian meneruskan studi Magister, Internasional Development Studies di Fairleigh Dickinson University, New Jersey. Karena tidak ada beasiswa dia sempat bekerja di restoran, pegawai toko buku, departemen store, bahkan menjadi satpam, pernah ia jalani. Semua itu untuk membiayai studinya yang diselesaikannya dalam waktu setahun.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.