Bagaimana Perang Israel-Hamas Menguji Tindakan Mesir?

Bagaimana Perang Israel-Hamas Menguji Tindakan Mesir?
Seorang pria Palestina menunjuk bangunan yang hancur ketika orang-orang memeriksa kerusakan setelah serangan udara Israel di Jabalya, Gaza / Mahmud Hams (AFP)

Pada Sabtu, 7 Oktober 2023, Hamas melakukan serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Israel. Segera setelah itu, Mesir dengan cepat menegaskan posisinya sebagai pembawa perdamaian tanpa kekerasan.

Kairo telah mendesak kedua belah pihak untuk melakukan deeskalasi. Presiden Abdul Fattah as-Sisi menyuarakan perlunya solusi yang adil di antara dua negara dan memprioritaskan keamanan dalam negeri dengan menutup perbatasan antara Sinai dan Gaza.

Dilansir dari laman Newarab.com, Yassin Ashour, konsultan politik Mesir untuk urusan Timur Tengah dan Arab, mengatakan, “Posisi Mesir sudah sangat jelas. Mereka berupaya melakukan deeskalasi dan bersedia bertindak sebagai mediator untuk menyelesaikan situasi ini.”

Presiden as-Sisi berupaya menangani situasi ini dengan hati-hati menjelang pemilihan Presiden Mesir pada bulan Desember. Ia juga telah menunjukkan kesediaannya untuk bertindak sebagai perantara perdamaian, seperti yang terlihat dalam perundingan gencatan senjata antara Israel dan Hamas tahun 2021.

“Dalam hal eskalasi antara Palestina-Israel, Mesir selalu menjadi mediator,” tambah Ashour. “Sejak era Mubarak, negara-negara barat seperti AS mengandalkan Mesir untuk merundingkan perdamaian antara Israel, Hamas, dan PLO.”

Menurut Matthew Sparks, seorang antropolog dan sejarawan Sinai dan Naqab, “Pemerintah saat ini mempunyai banyak keuntungan dengan mencoba menjaga keseimbangan kekuasaan dengan Hamas dan Israel. Jadi saya tidak berpikir mereka akan melakukan apa pun untuk melawan hal tersebut”.

Selain peluang untuk meningkatkan posisi geopolitiknya, Mesir juga akan dirugikan jika terlibat dalam konflik pada saat negara tersebut melemah akibat krisis ekonomi. Jika pertempuran meningkat, terdapat risiko terjadinya krisis kemanusiaan di seluruh perbatasan dan akan mengancam perdamaian yang telah diperjuangkan dengan keras di Sinai.

“as-Sisi akan berusaha menjaga posisi seimbang antara perlunya menciptakan paradigma baru antara Mesir dan Hamas, dan pada saat yang sama tetap tidak terlibat dalam konflik, karena Mesir sangat rapuh saat ini,” demikian Giuseppe Dentice, kepala desk MENA di Pusat Studi Internasional, mengatakan kepada TNA. 

Mesir menyuarakan dukungan untuk Perjuangan Palestina

Meskipun telah meyakinkan Israel bahwa mereka akan membantu merundingkan pembebasan sandera, Kairo juga menyalahkan pertempuran tersebut karena perlakuan tidak adil terhadap rakyat Palestina dan tidak adanya solusi dua negara. Presiden as-Sisi mengatakan kepada Kanselir Jerman, Olaf Schotz, hari Minggu (08/10/23) bahwa ada kebutuhan untuk mengatasi “akar penyebab konflik Israel-Palestina dengan mendukung jalan yang tenang dan memajukan upaya penyelesaian masalah Palestina”.

Baca Juga : Yang Dibutuhkan oleh Rakyat Palestina

Pada tingkat politik, rezim as-Sisi dengan gencar menyerukan diakhirinya konflik secara tiba-tiba. Sebagai masyarakat yang lebih luas, masyarakat Mesir sebagian besar mendukung perjuangan Palestina, dan di media sosial banyak masyarakat Mesir yang menggambarkan peristiwa tersebut sebagai kelanjutan langsung dari Perang Yom Kippur tanggal 6 Oktober 1973.

Seperti yang diungkapkan Ashour, Kairo selalu mendukung dekolonisasi Palestina dan diperkirakan tidak akan mengubah posisi ini. “Mesir tidak bertindak sejauh negara-negara yang menanda tangani Perjanjian Abraham, seperti Bahrain, UEA, atau Sudan, dalam hal tidak menyerukan untuk kembali ke perbatasan 4 Juni 1967,” katanya. “Mesir mendukung hak dekolonisasi Palestina, yang didukung oleh hukum internasional dalam 40 konvensi PBB,” tambah Ashour.

“Sebagai sebuah masyarakat, Mesir sangat terhubung dengan perjuangan Palestina karena identitas Muslim dan Arabnya,” komentar Giuseppe. “Ini akan menjadi faktor penting dalam peran Mesir dalam perundingan di masa depan.”

Meskipun memiliki ikatan emosional dengan Palestina, Mesir secara konsisten menunjukkan hubungan saling menguntungkan dengan Israel dan memelihara hubungan damai sejak Perjanjian Camp David pada 17 September 1978. Hal itu menyebabkan perjanjian perdamaian Mesir-Israel tahun 1979, serta Presiden Mesir Anwar Sadat dan Perdana Menteri Israel Menachem Begin berbagi Hadiah Nobel Perdamaian tahun 1978.

“Pemerintah Mesir selama beberapa waktu telah menunjukkan bahwa mereka dapat membedakan antara hubungan militernya dengan Israel dan hubungan sosialnya dengan Israel,” kata Matthew. “Mesir selalu memiliki perdamaian yang dingin dengan Israel dan masyarakat Mesir pada umumnya sangat mendukung perjuangan Palestina.”

Pembukaan Perbatasan Gaza-Sinai

Salah satu perdebatan sengit adalah pertanyaan tentang apakah Mesir akan membuka penyeberangan Rafah, terutama setelah juru bicara militer Israel menyuruh warga Gaza untuk melarikan diri ke Sinai. Gaza sedang mengalami krisis kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan hampir setengah dari dua juta penduduknya terdiri dari anak-anak. Kementerian Kesehatan Palestina mengklaim 140 anak tewas akibat serangan udara Israel sejak akhir pekan.

Mesir menutup perbatasan menyusul pengumuman tentara Israel pada Selasa (10/10/23), yang mendahului pemboman berikutnya di penyeberangan Rafah. Meski militer Israel kemudian mencabut pernyataan tersebut, namun penyeberangan itu diperkirakan akan tetap ditutup untuk menjaga keamanan Mesir sendiri, kecuali untuk bantuan kemanusiaan. Israel kemudian mengancam akan menyerang konvoi truk bantuan dari Mesir.

“Di bawah rezim Sisi, posisi Mesir selalu menjadi yang pertama bagi Mesir,” kata Ashour. “Pemerintah bangga dengan cara mereka mempertahankan diri melawan terorisme sejak tahun 2014 dan rezim akan terus memprioritaskan keamanan. Saya tidak berpikir mereka akan mengambil risiko dengan membuka perbatasan Gaza. Mungkin mereka akan membuka penyeberangan untuk bantuan kemanusiaan.”

Baca Juga : Yang Tak Terduga dalam Keterhimpitan

Pihak lain berpendapat bahwa akan menguntungkan bagi Mesir jika perbatasan tetap ditutup dan Hamas berada dalam wilayah yang terkendali di luar kendali langsung oleh Mesir. “Selama rezim Sisi saat ini, hubungan dengan Hamas tegang karena hubungan bersejarah Hamas dengan Ikhwanul Muslimin,” kata Matthew. “Bagi Presiden Sisi dan pemimpin mana pun yang mengikuti model penguasa militer pasca Nasser, masuk akal untuk membendung Hamas di Gaza.”

Matthew menambahkan: “Hal ini juga memungkinkan Sisi untuk meminta Israel memberikan bantuan militer tambahan guna mengamankan wilayah perbatasan, seperti yang kita lihat pada tahun 2018.”

Ada juga pertanyaan mengenai apakah warga Gaza ingin mengungsi ke Sinai. Sejak warga Palestina mengalami pengungsian dan perampasan massal selama “Perang Nakba”, yaitu dalam perang antara Arab dan Israel pada tahun 1948, terdapat tekad yang kuat untuk tidak meninggalkan tanah mereka karena takut mereka tidak akan pernah bisa kembali.

“Secara historis, pada tahun 1948 warga Gaza mengungsi ke Sinai, lalu kembali pada tahun 1967,” kata Matthew. “Saya rasa kita tidak akan melihat warga Gaza diizinkan mengungsi kali ini karena Sinai tidak mampu menghidupi populasi yang besar dan Mesir juga menghadapi masalah internalnya sendiri. Mesir akan menunjukkan solidaritas melalui bantuan kemanusiaan, namun perbatasan yang terbuka sepertinya tidak mungkin terjadi.”

Penembakan Alexandria

Penembakan terhadap dua turis Israel di Alexandria oleh seorang polisi Mesir, dua hari setelah Hamas menyerang Israel, menimbulkan kejutan di kalangan pasukan keamanan Mesir dan mendorong seruan untuk segera melakukan deeskalasi dalam negeri. “Mungkin insiden teroris ini adalah situasi yang terisolasi, namun pada saat yang sama penting bagi pasukan militer Mesir untuk mencegah kemungkinan terjadinya eskalasi karena keterlibatan langsung dalam konflik regional baru dapat melemahkan negara secara mendalam,” kata Giuseppe.

Setelah serangan itu, turis Israel meninggalkan Sinai secara massal dan kedutaan besar Amerika Serikat di Mesir meminta warga di Mesir untuk “meningkatkan kesadaran dan tindakan pencegahan keamanan”.

Sektor pariwisata Mesir, yang mencatatkan rekor tertinggi tahun ini, akan sangat terpukul dan dapat semakin memperparah dampak krisis ekonomi bagi banyak orang. Sebelum pandemi Covid-19, sebanyak 1,4 juta orang Israel berlibur ke Sinai setiap tahunnya dan tahun ini diperkirakan ada 200.000 orang yang berkunjung selama liburan Paskah.

“Setelah insiden di Alexandria, Mesir akan mengucapkan selamat tinggal pada pariwisata Israel untuk beberapa waktu,” kata Matthew. “Saya tidak akan terkejut jika ada boikot yang aktif.”


Artikel ini telah tayang dalam bahasa Inggris di Newarab.com dengan judul "How the Israel-Hamas war will test Egypt's balancing act".

Penulis: Lara Gibson

Penerjemah: Susilo

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.