Ketika Kaum Milenial Ungkapkan Peduli Negeri

Ketika Kaum Milenial Ungkapkan Peduli Negeri
Image by jcomp on Freepik

Kepedulian kaum milenial terhadap kondisi negeri itu diungkap dalam acara bertajuk “Titip Harapan – Millenial Menyampaikan, Anies Baswedan Mengerjakan”, yang digelar di Cipinang Cempedak, Jakarta Timur, 19 Agustus 2023. Tajuk acaranya seperti itu, karena pesertanya memang difokuskan untuk komunitas milenial dan Generasi Z, khususnya berusia 17 sampai 35 tahun). Generasi Z (Gen Z) merupakan generasi yang lahir tahun 1997-2012. Sedangkan Milenial  yaitu generasi yang lahir pada 1981-1996. Selanjutnya  Gen X  adalah generasi yang lahir pada 1965-1980.

Sejumlah tokoh turut hadir di acara tersebut. Anies Baswedan sendiri datang langsung di acara itu. Di antara tokoh yang hadir antara lain Dr. H. Refly Harun, SH, MH, LLM (pakar hukum tata negara) dan Ustadz Muhammad Zaitun Rasmin (Wakil Sekretaris MUI Pusat).

Ada banyak hal yang menjadi kepedulian mereka. Tetapi, di dalam acara tersebut wujud kepedulian mereka dapat dirumuskan dalam empat masalah utama. Pertama, tentang perlindungan perempuan. Mereka bertanya, bagaimana bentuk pelindungan terhadap perempuan menurut Anies Baswedan. Dijawab, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dilakukan.

“Pertama, perlindungan pada perempuan itu dimulai dengan mengkampanyekan kesadaran. Pandang perempuan seperti kita memandang ibu kita sendiri. Kampanye itu harus dilakukan, sehingga kita menghormati dan menghargai perempuan, karena kita tidak mungkin memandang rendah ibu kita. Tidak akan kita berbuat hal-hal yang tidak patut kepada ibu kita. (Maka hal itu) Harus dikampanyekan secara masif, sehingga itu menjadi kesadaran kolektif. Pandang itu (perempuan) seperti ibu, seperti saudara, seperti adik atau kakak kita sendiri. Dengan begitu, setiap kali ada sesuatu terjadi pada perempuan dimana pun, kita akan merespon, karena kita merasa bahwa itu adalah urusan kita. Tidak cuek,” tuturnya.

Kedua, jawab Anies, dalam melindungi perempuan, negara harus responsif melindungi. Bentuk melindunginya dengan memberikan mekanisme pencegahan. Misalnya, di fasilitas-fasilitas umum selalu ada mekanisme program-program pencegahan. Dan jika terjadi sesuatu yang menimbulkan ketidaknyamanan, dimana pun mereka bisa melaporkan dengan cepat.

“Problem utamanya adalah tidak tahu harus melapor ke mana dan kepada siapa. Kami di Jakarta membuat nomor khusus untuk itu dan menyiapkan kerja sama antara kepolisian dengan pemerintah DKI. Bahkan disiapkan aplikasinya, sehingga jika mengalami peristiwa apa pun kami bisa segera merespon. Di Jakarta kita ada (program) istilahnya rumah aman bagi perempuan yang mengalami kekerasan. Mereka di sana terlindungi dan ter-cover semuanya, baik tempat maupun biaya-biayanya. Bentuk tanggung jawab ini adalah cara kita menghormati perempuan yang mengalami tindakan-tindakan tidak sepatutnya,” urainya.

Masalah kedua yang mengemuka adalah soal penyimpangan (KKN dan lain-lain) yang masih banyak terjadi. Menjawab pertanyaan milenial, Anies menyebut dua hal. Pertama, kita harus memiliki aturan main dan transparansi. Transparansi menurut dia adalah kata kunci. Di dalam semua kebijakan dan dalam semua eksekusi. Jika ada penyimpangan, kita harus tahu ke mana harus lapor.

“Problem utamanya adalah kita ketemu penyimpangan lalu kita tidak tahu harus ke mana melapor. Selama kita tidak punya tempat untuk lapor, maka penyimpangan itu terjadi dan biasanya melawannya hanya dengan hp, melaporkannya ke publik (media sosial). (Maka) Negara harus menyiapkan, sehingga ketika ada penyimpangan dan lain-lain itu bisa dikendalikan,” ujarnya.
Baca Juga : Renungan Kemerdekaan: Kabel yang Masih saja Bikin Sebel

Setelah itu, kata dia, ada mekanisme hukuman. Tindakan pelanggaran itu dihukum dengan hukuman yang menjerakan. Di sisi lain, ada dua jenis pelanggaran. Ada yang melanggar karena kebutuhan, ada yang melanggar karena keserakahan. Terhadap yang melanggar karena kebutuhan, kebutuhannya harus diselesaikan. Kalau tidak, pelanggaran itu akan terjadi terus.

“(Misalnya) Kalau orang mempunyai gaji yang cukup hanya untuk dua puluh hari, maka sepuluh hari sisanya dia mau makan apa? Di situ masalahnya harus dibereskan, sehingga dia cukup (punya nafkah) untuk hidup 30 hari. (Jika) Tidak dibereskan, akan selalu timbul masalah karena gajinya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup,” ucapnya.

Sedangkan pelanggaran yang terjadi karena keserakahan, maka berapa pun gajinya tetap akan terjadi penyimpangan. Terhadap pelanggaran yang terjadi karena keserakahan itu, penyelesaiannya dengan hukuman yang menjerakan, kata dia. Sebab, dengan hukuman yang menjerakan itu keserakahan bisa dikendalikan.

Masalah ketiga yang mengemuka di acara tersebut adalah soal KKB. Untuk pertanyaan tentang KKB, Anies memilih tidak mengomentari.

“Mengapa? Karena sedang terjadi situasi di lokasi. Jadi, biarkan itu diselesaikan (oleh mereka yang sedang ditugaskan), supaya kita tidak menambah kompleksitas di dalam penanganan yang sekarang sedang terjadi. Tetapi prinsipnya, kita ingin ada damai dan damai itu ditandai bukan dengan tiadanya konflik kekerasan, (tetapi) dengan semua pihak merasa ada keadilan. Di situlah ada kedamaian yang sesungguhnya. Jadi, cari jalan keluar yang menimbulkan rasa keadilan, lalu insya Allah konflik itu akan tiada. Itu yang kita tuju,” katanya.

Masalah keempat yang diungkap kaum milenial di acara tersebut adalah tentang polemik UU ITE. Kaum milenial khawatir, UU ITE akan membatasi kebebasan dalam berpendapat dan menyampaikan kritik lewat media sosial. Anies menjawab, berdasarkan pengalaman dia berada di pemerintahan, pemerintah selalu menjadi alamat kritik. Kritik ada yang disampaikan dengan kata-kata yang nyaman di telinga, dan ada kata-kata yang tidak nyaman di telinga. Tetapi, apa pun yang dikatakan itu adalah hak warga untuk menyampaikan pikirannya.

“Jadi kalau ada kritik sebenarnya hal itu adalah public education, karena yang berada di pemerintahan itu kalau dikritik dia harus menjawab dan jawaban dia itu didengarkan oleh publik. Ketika jawabannya bagus dan benar, publik akan percaya. Maka, dalam membuat kebijakan itu harus menggunakan akal sehat, membuat kebijakan itu memakai data, pakai fakta, sehingga ketika ditanya dan dikritik bisa menjawab dengan data, fakta, dan tidak perlu marah,” ucapnya.
Baca Juga : UU Kesehatan Masih Tuai Pro-Kontra, Kebutuhan Kesmas Terabaikan

Anies menyebut, tak perlu ada aturan-aturan yang melarang kritik. Bahkan, keberadaan pasal-pasal karet seharusnya direvisi karena sudah merepotkan. Banyak dari kita yang mengalami pelayanan-pelayanan publik yang salah, ketika melaporkan justru dilaporkan balik, ketika bercerita ke publik justru dilaporkan. Itu antara lain pasal karet yang harus ditiadakan, supaya kebebasan berekspresi dapat terjaga, demikian juga akal sehat.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.