Untukmu Indonesiaku

Untukmu Indonesiaku

Lagu berjudul "Indonesia Pusaka" adalah satu dari sekian banyak lagu nasional yang kerap mengalun di momen-momen bersejarah. Termasuk hari ini, saat rakyat Indonesia merayakan 78 tahun kemerdekaan. Bait-baitnya menggambarkan kebanggaan, kecintaan, dan sekaligus harapan terhadap tanah air tercinta yang bernama Indonesia.

Namun beberapa tahun terakhir ini, alunan lagu yang sejatinya syahdu itu berubah bak sembilu. Mendengar bait-bait lagu itu, hati terasa teriris. Perih, pedih. Tujuh puluh delapan tahun, bukan usia yang pendek. Cukup tua – bahkan bisa dibilang terlalu tua – untuk mewujudkan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Namun faktanya masih jauh panggang dari api.

Malah muncul pertanyaan: Masih adakah Indonesia dua puluh dua tahun ke depan saat kita mestinya merayakan satu abad kemerdekaan?

Setidaknya ada empat kemungkinan masa depan Indonesia. Pertama, Negara Indonesia akan punah dihantam pertarungan geopolitik internasional. Kedua, Indonesia terpecah-belah menjadi negara-negara kecil yang satu dengan lainnya saling bertikai. Yugoslavia dan Uni Sovyet sudah mengalaminya. Negara-negara di kawasan Balkan semisal Serbia, Kroasia, Macedonia, Montenegro, dan Bosnia Herzegovina, sebelumnya adalah satu negara bernama Yugoslavia. Pemimpinnya yang terkenal adalah Josip Broz Tito.

Baca Juga : People Power? Mungkinkah?

Namun, perang sepanjang tahun 1992-1994 memecah Yugoslavia menjadi seperti sekarang ini. Kaum ultranasionalis Serbia yang memeluk Kristen Ortodok dipimpin Slobodan Milosevic memicu terjadinya desintegrasi. Mereka menyerang etnis Kroasia yang beragama Katolik dan Etnis Bosnia yang muslim. Yang paling menderita adalah kaum muslim Bosnia. Mereka yang jumlahnya relatif paling kecil, bukan saja diserang oleh Serbia, tetapi juga oleh Kroasia. Maka perang segitiga pun tak terhindarkan.

Yang paling lama dan mencekam adalah perang perlawanan muslim Bosnia melawan pejajahan dan penindasan Serbia. Tercatat ratusan ribu orang tewas, sementara jutaan lainnya mengungsi. Di sisi lain puluhan ribu muslimah Bosnia diperkosa. Sebagian tewas, sebagian lagi hamil. Situasi ini membuat ulama Bosnia, Syeikh Mustafa Cheric, memfatwakan bolehnya perempuan Bosnia yang hamil karena perkosaan menggugurkan kandungannya.

Hal yang sama terjadi dengan Uni Sovyet, saat dipimpin Mikhael Gorbachev di awal tahun 1990-an. Glasnost dan Perestroika (Keterbukaan dan Reformasi) yang ia gaungkan, tak disangka tak dinyana membuat Uni Sovyet bubar jalan dan memunculkan negara-negara baru. Di kawasan Laut Baltik muncul Estonia, Latvia, dan Lithuania. Di Asia Tengah di antaranya berdiri Kazhakstan, Turkmenistan, Tajikistan dan Azerbaijan. Yang terakhir ini bahkan terlibat perang sengit dengan negara pecahan lainnya, Armenia, memperebutkan wilayah Naghorno Kharabakh. Yang terkini, perang Rusia-Ukraina yang sudah berlangsung sejak Februari 2022. Bahkan perang yang menyeret keterlibatan Inggris, Perancis, dan sejumlah negara barat lain, itu dikhawatirkan memicu Perang Dunia ketiga.

Kita tentu berharap hal serupa tidak menerpa Indonesia. Namun, jika kita tidak pandai membingkai perbedaan yang terjadi, dan membiarkan satu kelompok yang merasa di atas angin mengkriminalisasi dan mempersekusi kelompok lain yang berbeda pandangan, konflik horizontal sulit dicegah. Apalagi jika pembiaran itu terkesan disengaja. Pada sisi lain, terjadi perlakuan diskriminatif dalam penegakan hukum. Mereka yang sejatinya pecinta dan penjaga sejati NKRI, namun karena bersikap kritis dan vokal, diberangus, diberi label negatif, dan bahkan dipenjara. Sementara gerakan separatis bersenjata yang berkali-kali membunuh warga sipil maupun aparat polisi dan militer diperlakukan halus dan santun. Maka, lengkap sudah indikator terjadinya keretakan sosial yang pada gilirannya mengancam keutuhan bangsa.

Baca Juga : Mengenang Genosida Atas Ribuan Muslim di Srebrenica 28 Tahun Silam

Kemungkinan ketiga, Indonesia tetap ada, tetapi di bawah ketiak asing dan aseng. Indikatornya, kebijakan politik, ekonomi dan sosial pemerintah tak lagi berpihak kepada rakyat, tetapi lebih kepada kepentingan asing dan aseng. Pembangunan sarana dan prasarana semisal bandara, pelabuhan, jalan tol, moda transportasi, tidak didasarkan kebutuhan nyata, tetapi lebih karena melayani kepentingan mereka. Padahal pembiayaannya menguras APBN atau berasal dari utang luar negeri. Akibatnya, proyek mangkrak atau tidak produktif sementara timbunan utang semakin menggunung. Bandara Kertajati di Majalengka dan Kereta Cepat Jakarta-Bandung hanyalah beberapa contoh.

Di sisi lain, produk-produk ekspor yang potensial dan memberikan pendapatan yang besar, justru dikuasai kartel. Salah satu contohnya adalah Industri CPO dan produk turunannya. Sulitnya mengendalikan harga minyak goreng beberapa waktu lalu lantaran produk itu dikuasai oligarki. Di saat yang sama, kebutuhan terhadap produk tertentu yang sesungguhnya bisa dipenuhi dan dicukupi oleh produk dalam negeri, justru dibanjiri barang impor. Misalnya, saat petani di NTB panen raya jagung dan jumlahnya surplus, pasar justru dibanjiri produk impor.

Tiga situasi di atas tentu sangat tidak baik dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara. Bahkan memunculkan tanya, "Jika situasinya sedemikian rupa, layakkah tanah air tercinta ini menjadi tempat berlindung di hari tua?” Terasa getir. Bahkan nyinyir.

Namun, sebagai orang yang beriman, Allah melarang kita pesimis. Apalagi putus asa. Pesimis dan putus asa adalah sifat mereka yang tidak beriman. (QS Yusuf: 87). Orang beriman harus selalu optimis dan percaya penuh pada kebaikan Allah, sesulit apa pun situasi dan kondisi yang menimpa.

Lihatlah Nabi Zakaria alaihissalam. Ia tak pernah kecewa kepada Allah, meski doanya selama puluhan tahun meminta kehadiran seorang anak yang akan mewarisi risalah yang diemban, belum juga dikabulkan. Ketika usianya sudah sangat tua, tulangnya sudah rapuh, uban telah memenuhi kepalanya, dan istrinya mandul, Allah anugerahkan kepadanya seorang putra, Yahya 'alaihissalam. Manusia terbaik saat itu yang belum pernah Allah ciptakan sebelumnya dan lalu diangkat menjadi nabi. Apa yang mustahil bagi kita, tidak bagi Allah. Bagi-Nya segala kekuasaan dan pujian, dan Dia Maha berkuasa atas segala sesuatu. Lahu almulku walahu alhamdu wahuwa 'ala kulli syai’in qodiir.

Begitulah kuasa Allah. Jika Dia menghendaki sesuatu, cukup mengatakan Kun Fayakun. Itulah yang terjadi pada Ibu Maryam. Seorang perawan suci yang tak pernah disentuh pria, hamil dan lantas melahirkan Nabi Isa alaihissalam (Lihat QS Maryam ayat 1-23).

Baca Juga : Kemenangan Itu Pasti Datang

Kita harus berusaha keras dan yakin sepenuhnya mewujudkan kemungkinan yang keempat. Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur seperti termaktub dalam Pembukaan UUD ‘45. Semua persyaratan geografis dan demografis telah tersedia lebih dari cukup. Alam yang indah, timbunan aneka jenis tambang dan mineral yang luar biasa, kekayaan laut dan air tak terkira, tanah yang subur dan luas yang bisa ditanami aneka tumbuhan, hutan tropis nomor dua terluas di dunia, adalah anugerah Allah yang teramat sangat luar biasa. Dari segi insaniah pun kita punya resources cendekiawan dan ahli di semua bidang ilmu.

Hanya satu yang tak ada dan itu yang paling penting. Itulah akhlakul karimah, akhlak yang mulia. Segenap warga bangsa harus membentuk akhlak yang mulia. Sebab, itulah tujuan Nabi Muhammad SAW diutus, seperti sabdanya, "Sesungguhnya aku dilahirkan/diutus untuk menyempurnakan akhlak". Akhlak Nabi SAW itu adalah Al Qur'an.

Dengan kata lain, cita-cita kemerdekaan membentuk negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, hanya akan terwujud jika konstitusi, undang-undang dan kebijakan negara berpandu sepenuhnya pada titah Allah dan Rasul-Nya. Menjadi kewajiban semua anak bangsa untuk mewujudkannya dalam sikap dan tindak keseharian. Tentu saja dimulai dan dicontohkan oleh para pemimpin. Karena jika pemimpin amanah dan jujur, niscaya maju dan sejahteralah rakyatnya. Tetapi jika para pemimpin tidak amanah dan suka berbohong, kehancuran suatu bangsa tinggal menunggu waktu.

Dengan rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorong oleh keinginan luhur para founding fathers kita memproklamasikan kemerdekaan. Kini saatnya kita mengisi kemerdekaan ini dengan bersyukur kepada Allah dan tulus membangun bangsa dan negara. Bersyukur itu bermakna; menggunakan dan mengalokasikan semua nikmat yang Allah berikan untuk menambah ketaatan kepada-Nya. Pada gilirannya, Allah akan melipatgandakan nikmat-Nya kepada kita.

لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ
"Jika kalian bersyukur, niscaya Aku tambah nikmat-Ku kepadamu. Tetapi jika kalian kufur (nikmat), sungguh azab-Ku amat pedih" – QS. Ibrahim: 7.

Maka, saatnya kita ganti model dan isi perayaan kemerdekaan, dari pesta-pora menjadi zikir dan kontemplasi. Dari joget, dansa, dan semua perilaku berbau maksiat yang dilarang Allah, dengan sujud dan duduk bersimpuh memohon ampunan-Nya. Begitu seterusnya. Kalau kemarin kita salah, saatnya kini kita berubah. Manusia memang tempatnya salah dan dosa. Tetapi sebaik-baik orang yang salah dan berdosa adalah yang bertaubat.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.