Presiden Prabowo Subianto telah memerkenalkan sejumlah menteri dan wakil menteri di kabinet barunya yang bernama “Kabinet Merah Putih”. Dari nama-nama yang diperkenalkan, Prabowo masih memertahankan komposisi menteri ekonomi yang telah menjabat di era Joko Widodo (Jokowi) atau Kabinet “Indonesia Maju”. Wajah-wajah lama tersebut di antaranya adalah Sri Mulyani Indrawati, Airlangga Hartarto, dan Agus Gumiwang Kartasasmita.
Sri Mulyani masih dipercaya Prabowo untuk menjabat Menteri Keuangan. Airlangga masih melanjutkan tugasnya sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Sedangkan Agus Gumiwang pun tetap menjadi Menteri Perindustrian.
Di luar itu, ada nama-nama lain menteri ekonomi Jokowi yang posisinya tetap atau tidak berubah, yakni Bahlil Lahadalia, Rosan Roeslani, Amran Sulaiman, dan Erick Thohir. Ada pun Bahlil masih tetap sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rosan Roeslani tetap Menteri Investasi dan Hilirisasi, Amran tetap Menteri Pertanian, dan Erick Thohir kembali di Menteri BUMN.
Langkah Presiden Prabowo memertahankan sejumlah menteri ekonomi itu mengindikasikan keinginan dia untuk menjaga kesinambungan kebijakan ekonomi dari era pemerintahan sebelumnya. Presiden Prabowo Subianto pun mencanangkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen dalam dua hingga tiga tahun pertama masa pemerintahannya. Prabowo menegaskan optimismenya terhadap pertumbuhan ekonomi yang ambisius ini meski kerap mendapat kritik.
Mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen dalam 2-3 tahun ke depan merupakan tantangan yang sangat berat bagi Indonesia. Terutama jika melihat kebijakan pembangunan Presiden Prabowo yang sejauh ini tampaknya masih berkutat pada keberlanjutan dari program-program pemerintahan sebelumnya. Tanpa adanya strategi besar baru yang lebih progresif, target tersebut akan sangat sulit dicapai. Indonesia membutuhkan pendekatan yang jauh lebih transformatif untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi yang stagnan selama era pemerintahan sebelumnya.

Dengan kondisi ekonomi domestik dan global yang masih diliputi ketidakpastian, bahkan untuk target pertumbuhan 6 persen pun sudah sangat menantang. Untuk mencapai pertumbuhan 7 persen, dibutuhkan reformasi signifikan, terutama dalam birokrasi dan tata kelola ekonomi.
Dan mencapai target 8 persen pertumbuhan ekonomi jelas membutuhkan lebih dari itu, yaitu reformasi besar-besaran yang melibatkan perombakan strategi ekonomi, peningkatan kualitas institusi, serta reformasi hukum dan politik yang mendalam. Jika pemerintah hanya sekadar melanjutkan kebijakan lama tanpa terobosan yang memadai, target pertumbuhan sebesar 8 persen akan sangat tidak realistis.
Apa yang Harus dilakukan Sri Mulyani cs?
Untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi 8 persen, Sri Mulyani dan tim ekonomi di bawah pemerintahan Presiden Prabowo harus melakukan perubahan besar dalam cara ekonomi Indonesia dikelola. Mencapai pertumbuhan sebesar itu dalam konteks ekonomi global yang tidak pasti dan struktur ekonomi domestik yang relatif stagnan di sekitar 5 persen jelas bukan tugas mudah. Bahkan, jika tanpa langkah-langkah drastis, target ini hampir mustahil tercapai.
Ada beberapa langkah strategis yang harus menjadi fokus utama pemerintah. Pertama, menggeser fokus kebijakan ekonomi dari sekadar melanjutkan program-program yang sudah ada, semisal pembangunan infrastruktur dan hilirisasi komoditas tambang, ke arah transformasi yang lebih mendasar.
Selama ini, pembangunan infrastruktur memang telah memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan. Tetapi itu belum cukup untuk membawa ekonomi melesat ke tingkat yang lebih tinggi. Infrastruktur tanpa industrialisasi berbasis teknologi tidak akan mampu menciptakan lompatan produktivitas yang diperlukan.

Oleh karena itu, Sri Mulyani harus mendorong kebijakan yang memerkuat basis industri manufaktur Indonesia, memacu inovasi, dan memerluas sektor-sektor dengan nilai tambah tinggi.
Kedua, reformasi birokrasi juga harus menjadi fokus utama. Salah satu hambatan terbesar dalam investasi dan pengembangan industri di Indonesia adalah birokrasi yang kompleks dan sering kali tidak efisien.
Untuk menarik lebih banyak investasi, baik dari dalam maupun luar negeri, pemerintah harus membuat regulasi yang lebih sederhana, transparan, dan cepat dieksekusi. Di dalam hal ini, Sri Mulyani perlu bekerja sama erat dengan kementerian terkait untuk menciptakan iklim usaha yang lebih ramah terhadap inovasi dan industri baru. Investasi dalam infrastruktur fisik saja tidak cukup dan yang lebih mendesak adalah membangun “infrastruktur kelembagaan” yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi berbasis teknologi dan industri kreatif.
Ketiga, penting bagi Sri Mulyani dan tim untuk memerhatikan masalah kualitas sumber daya manusia. Pertumbuhan ekonomi yang cepat tidak akan mungkin dicapai tanpa tenaga kerja yang terampil dan produktif. Saat ini, Indonesia tengah menikmati bonus demografi, tetapi manfaatnya masih terbatas karena rendahnya kualitas pendidikan dan pelatihan keterampilan.
Pemerintah perlu memercepat reformasi dalam sistem pendidikan dan vokasi untuk memastikan bahwa angkatan kerja masa depan dapat memenuhi kebutuhan industri modern. Tanpa peningkatan kapasitas SDM, target pertumbuhan 8 persen hanya akan menjadi angka tanpa realisasi.

Keempat, dari sisi fiskal, Sri Mulyani juga harus memastikan bahwa belanja pemerintah diarahkan untuk mendukung sektor-sektor yang memiliki potensi pertumbuhan tinggi, bukan sekadar membiayai proyek infrastruktur besar yang kurang efisien.
Penggunaan anggaran negara harus lebih fokus pada investasi yang mendorong produktivitas jangka panjang, semisal pendidikan, kesehatan, dan penelitian, serta pengembangan teknologi.
Pada saat yang sama, pendalaman pasar keuangan juga perlu dilakukan agar lebih banyak perusahaan, terutama UMKM, mendapatkan akses ke pembiayaan yang lebih mudah dan murah.

Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!